Ads

Naskah Sunda Kuno Harus Diselamatkan dan Dipelajari Kembali

Warisan yang Terlupakan: Mengapa Naskah Sunda Kuno Harus Diselamatkan dan Dipelajari Kembali

Ditulis oleh: Akang Marta



Di balik riuhnya perbincangan tentang modernitas, teknologi, dan pembangunan, ada satu lapisan kebudayaan yang kerap terlupakan: naskah-naskah kuno yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang suatu bangsa. Indonesia adalah negeri yang kaya dengan warisan budaya, bukan hanya berupa candi, tradisi lisan, atau kesenian, tetapi juga berupa dokumen tertulis yang mengandung pengetahuan mendalam tentang masa lalu. Dari sekitar tujuh ratus lebih bahasa yang ada di nusantara, hanya belasan saja yang memiliki landasan tertulis. Salah satu di antaranya adalah bahasa Sunda Kuno.

Filologi hadir sebagai pintu masuk untuk menghidupkan kembali jejak-jejak yang tertinggal dalam teks. Sebagaimana pernah dijelaskan oleh seorang peneliti, perjalanan menekuni Sunda Kuno adalah perjalanan panjang yang penuh dengan kesabaran. Sejak tahun 2008, penelitian serius mulai digarap melalui berbagai manuskrip yang jumlahnya amat terbatas. Bayangkan, sebuah peradaban besar seperti Sunda Kuno yang pernah berdiri di wilayah Jawa Barat hanya meninggalkan kurang lebih seratus dokumen. Jumlah itu mencakup sekitar tiga puluh prasasti dan hanya lima belas manuskrip berbahasa Sunda. Totalnya, tidak lebih dari seratus lima belas dokumen yang menjadi gerbang pengetahuan kita untuk memahami kebudayaan Sunda Kuno.

Keterbatasan jumlah dokumen menjadikan penelitian Sunda Kuno sebagai pekerjaan yang amat menantang. Jika dibandingkan dengan kebudayaan Jawa atau Bali yang memiliki ribuan naskah, Sunda Kuno tampak seperti hutan belantara kecil yang hampir terlupakan. Tetapi justru karena kelangkaannya, setiap teks yang berhasil ditemukan dan dipelajari memiliki nilai luar biasa. Setiap kata, kalimat, dan bahkan lembaran kertas tua yang mungkin rapuh menjadi kunci untuk membuka pemahaman tentang bagaimana masyarakat Sunda Kuno memandang dunia, mengatur kehidupan sosial, menjalankan ajaran agama, hingga menuliskan estetika sastra mereka.

Dalam ranah akademik, penelitian filologi terhadap Sunda Kuno menghasilkan karya otoritatif, salah satunya adalah studi filologis atas teks Siksa Guru, Sasana Mahaguru, dan Siksa Kandan Karesian. Teks-teks ini tidak sekadar mengandung ajaran moral atau tuntunan spiritual, tetapi juga memantulkan bagaimana struktur sosial dan budaya masyarakat pada zamannya dibentuk. Melalui teks, kita bisa menyingkap nilai-nilai yang mengajarkan tentang etika, tata krama, hubungan antara manusia dengan sesama, serta hubungan manusia dengan alam dan Sang Pencipta.

Sayangnya, pembicaraan tentang Sunda Kuno masih sebatas di ruang akademik. Publik luas jarang sekali mengetahui betapa berharganya naskah-naskah tersebut. Padahal, filologi bukan hanya urusan para sarjana, tetapi juga milik masyarakat. Mengetahui dan memahami warisan tertulis berarti ikut menjaga identitas budaya. Naskah Sunda Kuno, meski jumlahnya terbatas, adalah bukti bahwa masyarakat Sunda di masa lalu memiliki tradisi literasi yang kuat, bukan sekadar tradisi lisan. Mengetahui bahwa leluhur kita pernah menulis, merekam, dan mendokumentasikan kehidupan mereka seharusnya menjadi sumber kebanggaan sekaligus inspirasi.

Tulisan ini harus dibangun bahwa mengulik peradaban Sunda Kuno bukanlah romantisme sejarah, melainkan sebuah kebutuhan mendesak. Di tengah derasnya arus globalisasi, identitas lokal sering tergerus. Anak-anak muda lebih akrab dengan budaya populer asing dibandingkan dengan peninggalan leluhurnya sendiri. Naskah-naskah kuno bisa menjadi sarana untuk memperkuat kembali akar budaya. Dengan mempelajarinya, generasi muda bisa melihat bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan leluhur sangat relevan untuk menjawab tantangan zaman. Misalnya, ajaran tentang kesederhanaan, penghormatan terhadap guru, serta pentingnya keseimbangan hidup adalah prinsip yang tidak lekang oleh waktu.

Namun, keterbatasan dokumen Sunda Kuno juga membawa persoalan besar. Untuk bisa memahami satu teks saja, seorang filolog harus membaca semua dokumen yang ada. Tidak ada pilihan lain, karena sumber pembanding sangat minim. Situasi ini membuat pekerjaan seorang filolog tidak hanya menuntut keahlian bahasa, tetapi juga daya tahan intelektual yang luar biasa. Ketekunan dalam membaca huruf-huruf kuno, kesabaran dalam menafsirkan makna, serta keberanian mengambil kesimpulan dari data yang terbatas adalah tantangan nyata. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat perlu menyadari bahwa penelitian semacam ini bukanlah pekerjaan remeh. Setiap hasil penelitian adalah buah dari kerja keras panjang yang seharusnya mendapat apresiasi luas.

Masyarakat juga harus menyadari bahwa dokumen-dokumen Sunda Kuno yang jumlahnya hanya seratusan itu adalah harta karun yang tidak ternilai. Jika hilang atau rusak, kita kehilangan selamanya. Karena itu, perawatan, pelestarian, dan digitalisasi menjadi agenda penting. Perpustakaan Nasional dan lembaga-lembaga terkait harus berkomitmen kuat untuk menjaga naskah-naskah tersebut dari ancaman kerusakan. Di era digital seperti sekarang, peluang untuk membuka akses publik terhadap naskah kuno semakin besar. Manuskrip yang tadinya hanya bisa dibaca di ruang arsip terbatas kini bisa diunggah dalam bentuk digital agar bisa dipelajari siapa saja, kapan saja. Dengan demikian, kesadaran publik bisa terbangun lebih luas.

Filologi Sunda Kuno juga memberi kita pelajaran penting tentang kesadaran sejarah. Dengan jumlah naskah yang sedikit, kita menyadari betapa rapuhnya ingatan manusia. Betapa mudahnya jejak sebuah peradaban terhapus hanya karena dokumen tertulisnya tidak terawat. Tetapi justru dari kerentanan itu, kita belajar untuk lebih menghargai. Setiap baris teks yang tersisa menjadi pengingat bahwa leluhur kita pernah menorehkan pikiran, ajaran, dan cita-cita dalam bentuk tulisan. Mereka tidak hanya hidup untuk masanya, tetapi juga ingin menyampaikan pesan kepada generasi jauh setelahnya.

Dalam tulisan ini, ajakan untuk mencintai, merawat, dan mendukung penelitian filologi Sunda Kuno bukan sekadar ajakan akademis. Ia adalah seruan moral bagi kita semua untuk menjaga warisan yang tersisa. Kebudayaan Sunda Kuno bukan milik sekelompok orang di Jawa Barat saja, melainkan bagian dari mozaik besar kebudayaan Indonesia. Setiap naskah adalah batu bata kecil yang menyusun bangunan identitas bangsa. Mengabaikannya berarti membiarkan bagian penting dari jati diri kita hilang begitu saja.

Generasi muda Indonesia harus diajak untuk peduli. Tidak harus menjadi filolog untuk bisa mencintai naskah kuno. Cukup dengan mengenal, membaca terjemahan, atau sekadar mengetahui bahwa ada warisan Sunda Kuno yang sangat berharga, sudah menjadi langkah penting. Dari situ, kesadaran kolektif akan tumbuh, dan penghargaan terhadap kebudayaan sendiri bisa semakin kuat. Jika kita bisa merayakan budaya populer global dengan begitu antusias, mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama untuk warisan leluhur kita sendiri?

Filologi Sunda Kuno memberi kita kesempatan langka untuk menatap cermin masa lalu. Dari cermin itu, kita bisa belajar tentang kebijaksanaan, kesalahan, bahkan cita-cita leluhur. Semua itu bukan untuk membuat kita terjebak dalam nostalgia, melainkan untuk memperkuat langkah ke depan. Peradaban yang besar adalah peradaban yang tahu menghargai masa lalunya. Tanpa itu, kita akan mudah terombang-ambing oleh arus globalisasi yang kerap membuat kita lupa jati diri.

Akhirnya, tulisan ini menegaskan bahwa mengulik Sunda Kuno lewat filologi adalah jalan penting untuk merawat peradaban. Meskipun dokumennya terbatas, nilai yang terkandung di dalamnya tidak terbatas. Justru dalam keterbatasan itu, kita menemukan pelajaran tentang pentingnya merawat, menghargai, dan melanjutkan warisan yang ada. Saatnya kita menjadikan filologi bukan sekadar ilmu akademik, tetapi juga gerakan budaya yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Sunda Kuno mungkin hanya meninggalkan seratusan dokumen, tetapi jika kita bisa merawatnya dengan cinta, nilainya akan berlipat ganda, menjadi cahaya yang menerangi identitas kita sebagai bangsa.

 


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel