Refleksi dari Sistem Hukum Sunda Kuno
Kemandirian dan Kemutakhiran: Refleksi dari Sistem Hukum Sunda Kuno
Ditulis oleh: Akang Marta
Pembahasan tentang kemutakhiran sistem hukum Sunda Kuno perlu
ditempatkan dalam konteks luas bagaimana masyarakat tradisional Nusantara
membangun tatanan sosialnya. Bagi sebagian orang, mendengar istilah “hukum
Sunda Kuno” mungkin terasa asing, seolah-olah hukum itu hanyalah warisan teks
usang yang tak relevan dengan kehidupan modern. Namun, ketika ditelaah lebih
dalam, sistem hukum yang dibagi dalam kategori siksa dapur, siksa kurung,
dan siksa kandang sesungguhnya menunjukkan betapa canggih dan modernnya
konsep hukum masyarakat Sunda di masa lalu. Konsep ini bahkan bisa kita sebut
mutakhir, karena menyentuh ranah filosofis, religius, sekaligus praktis dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam konstruksi hukum modern, kita mengenal pemisahan antara hukum
pidana, hukum perdata, hukum administrasi, bahkan hukum internasional. Semua
itu lahir dari sejarah panjang sistem hukum Romawi, Eropa, dan kemudian
diwariskan melalui kolonialisme. Tetapi masyarakat Sunda Kuno, jauh sebelum
itu, sudah memiliki kategorisasi hukum dengan logika yang tidak kalah
terstruktur. Siksa dapur ditempatkan sebagai aturan paling tinggi, yang
berhubungan dengan akar, pangkal, atau prinsip dasar yang menyangkut hal-hal
ketuhanan dan metafisika. Ini menandakan bahwa orang Sunda Kuno meletakkan
dimensi spiritual sebagai fondasi hukum, menjadikan moralitas dan keyakinan
sebagai akar dari seluruh aturan. Publik bisa melihat bahwa konsep ini mirip
dengan ide hukum alam yang berkembang di Barat, bahwa ada prinsip-prinsip dasar
yang bersumber dari moralitas universal dan tidak bisa diabaikan.
Berikutnya adalah siksa kurung, yaitu aturan untuk kelompok
tertentu, khususnya kalangan religius atau santri. Aturan ini lebih spesifik
dibandingkan siksa dapur karena mengatur praktik keagamaan dan tata laku orang
yang memilih jalan spiritual lebih intens. Publik bisa melihat bahwa konsep ini
sejajar dengan hukum kanonik dalam tradisi Kristen atau syariat dalam Islam, di
mana aturan-aturan tertentu hanya berlaku bagi komunitas yang mengikatkan
dirinya pada ajaran agama. Artinya, masyarakat Sunda Kuno sudah memahami
diferensiasi hukum sesuai dengan kelompok sosial. Tidak semua orang diperlakukan
sama, karena ada kalangan khusus yang punya tanggung jawab moral lebih tinggi.
Yang paling menarik adalah siksa kandang, aturan untuk masyarakat
umum. Disebut “kandang” karena mencakup banyak orang sekaligus, layaknya satu
kandang yang bisa menampung banyak ayam. Aturan ini berisi pedoman praktis yang
sangat rinci, bahkan sampai pada hal-hal kecil seperti bagaimana cara buang air
besar yang benar, apa yang harus dilakukan ketika ada tamu, hingga aturan
menjaga kebersihan. Bagi masyarakat modern, detail seperti ini mungkin dianggap
sepele. Tetapi publik seharusnya bisa melihat bahwa dalam konteks masa itu,
aturan-aturan praktis semacam ini justru sangat mutakhir. Ia membangun
kesadaran kolektif akan pentingnya kebersihan, etika sosial, dan keteraturan
hidup sehari-hari. Dengan kata lain, siksa kandang adalah bentuk hukum publik
yang hadir untuk menata interaksi sosial sekaligus menjaga kesehatan
masyarakat.
Pembahasan yang muncul dari
pembacaan ini adalah bahwa sistem hukum Sunda Kuno jauh dari kesan primitif.
Justru ia memiliki struktur yang sistematis, hirarkis, dan menyentuh berbagai
aspek kehidupan. Lebih dari itu, keberadaan hukum yang berlapis ini menunjukkan
kesadaran tinggi bahwa hukum tidak bisa bersifat tunggal. Ada hukum dasar yang
bersifat metafisik, ada hukum khusus untuk kalangan religius, dan ada hukum
umum untuk masyarakat luas. Kesadaran diferensiasi ini selaras dengan prinsip
modern yang membedakan hukum publik dan privat, atau hukum umum dan khusus.
Dengan kata lain, sistem hukum Sunda Kuno memiliki logika universal yang masih
relevan hingga kini.
Namun ada hal lain yang membuat publik patut merenung. Kitab Siksa
Kandang Karesian, salah satu teks penting Sunda Kuno, menunjukkan bahwa
hukum saat itu tidak selalu dijelaskan secara detail dalam arti normatif. Ia
seringkali bersifat enumeratif—menyebut daftar aturan atau motif tanpa
memberikan penjelasan mendalam. Misalnya, ketika membahas motif tenun, teks
hanya menyebutkan nama-nama motif tanpa menjelaskan bentuk atau maknanya. Dari
sudut pandang modern, ini mungkin dianggap kelemahan. Tetapi opini publik bisa
menginterpretasikan hal ini sebagai bukti bahwa teks tersebut berfungsi sebagai
ensiklopedia atau katalog, sebuah pintu gerbang pengetahuan yang harus
dilengkapi dengan tradisi lisan. Dengan demikian, hukum Sunda Kuno tidak
berdiri sendiri, melainkan berpadu dengan praktik sosial, tradisi, dan
pengetahuan komunitas.
Kekuatan hukum Sunda Kuno justru terletak pada sifatnya yang holistik.
Ia tidak memisahkan antara aturan spiritual, moral, dan sosial. Tidak ada sekat
kaku seperti dalam hukum modern, di mana moral seringkali dipisahkan dari
legalitas. Dalam sistem Sunda Kuno, apa yang dianggap benar secara spiritual
juga menjadi benar secara hukum. Apa yang dianggap etis dalam kehidupan sehari-hari
otomatis masuk ke dalam aturan kolektif. Publik bisa melihat bahwa konsep
seperti ini sangat relevan dengan kebutuhan masa kini, ketika kita menghadapi
krisis etika di balik hukum positif yang dingin dan kering.
Tulisan ini juga perlu diarahkan pada makna simbolis dari istilah
kandang, kurung, dan dapur. Ketiganya adalah istilah sehari-hari, dekat dengan
masyarakat, dan mudah dipahami. Ini menunjukkan bahwa hukum Sunda Kuno disusun
dengan kesadaran komunikasi, agar dapat diterima luas oleh masyarakat dari
berbagai lapisan. Tidak ada kesan elitis atau eksklusif. Bahkan konsep paling
tinggi sekalipun, yaitu siksa dapur, tetap menggunakan istilah yang akrab dalam
kehidupan sehari-hari. Inilah yang membuat hukum Sunda Kuno terasa mutakhir,
karena hukum modern seringkali gagal menjangkau masyarakat akibat bahasanya
yang rumit dan teknis.
Lebih jauh, publik juga dapat menilai bahwa sistem hukum Sunda Kuno
adalah refleksi dari kearifan lokal yang mengutamakan harmoni. Aturan-aturan
yang rinci mengenai kebersihan, interaksi sosial, dan ritual keagamaan
sesungguhnya bertujuan menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan yang
transenden. Dengan kata lain, hukum Sunda Kuno tidak hanya berorientasi pada
penghukuman, tetapi lebih pada pencegahan, pengaturan, dan pembentukan
karakter. Di sini terlihat perbedaan besar dengan sistem hukum modern yang
cenderung represif.
Jika kita membandingkan, maka jelas terlihat bahwa sistem hukum Sunda
Kuno sudah mempraktikkan apa yang kini kita sebut restorative justice.
Alih-alih berfokus pada hukuman, aturan-aturannya lebih diarahkan pada
bagaimana masyarakat hidup dengan tertib, bersih, dan harmonis. Aturan mengenai
bagaimana menerima tamu, menjaga kebersihan, hingga menjaga jarak ketika buang
air besar, semuanya ditujukan untuk mencegah konflik dan menjaga hubungan
sosial. Inilah yang menjadikan hukum Sunda Kuno mutakhir, bahkan lebih maju
dibandingkan sebagian sistem hukum kontemporer.
Tulisan ini akhirnya dapat disimpulkan pada satu poin penting: warisan
hukum Sunda Kuno adalah bukti bahwa peradaban Nusantara memiliki sistem hukum
yang tidak hanya relevan pada zamannya, tetapi juga bisa menjadi inspirasi
untuk masa kini. Dengan struktur hirarkis yang jelas, bahasa yang komunikatif,
dan orientasi pada harmoni sosial, sistem hukum ini menawarkan alternatif cara
pandang terhadap hukum yang lebih manusiawi. Sayangnya, warisan ini sering kali
dilupakan, tertutup oleh dominasi hukum kolonial yang diwariskan hingga kini.
Maka, publik perlu mendorong agar warisan hukum Sunda Kuno tidak hanya
menjadi kajian akademik, tetapi juga menjadi bagian dari kesadaran budaya
nasional. Dalam dunia yang semakin kompleks, kita membutuhkan hukum yang tidak
hanya memaksa, tetapi juga mendidik dan membimbing. Hukum Sunda Kuno, dengan
siksa dapur, siksa kurung, dan siksa kandangnya, memberi teladan bahwa hukum
bisa hadir dengan wajah yang lebih manusiawi, lebih spiritual, dan lebih
membumi. Itulah kemutakhiran sejati dari sistem hukum Sunda Kuno.