Ads

Kosmologi Sunda Kuno

Kosmologi Sunda Kuno: Keseimbangan Tiga Dunia, Harmoni Manusia, dan Alam

Ditulis oleh: Akang Marta



Tulisan mengenai kosmologi Sunda Kuno yang membagi alam semesta ke dalam dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah membuka ruang refleksi mendalam tentang cara masyarakat Nusantara memahami kehidupan dan keseimbangan kosmis. Konsep ini bukan sekadar mitologi atau cerita turun-temurun, tetapi juga menyimpan filosofi yang relevan hingga kini, terutama dalam hal menjaga harmoni antara manusia, alam, dan kekuatan tak kasat mata.

Dalam teks-teks Sunda Kuno, dunia atas sering digambarkan sebagai loka, dunia yang bertingkat tujuh, tempat bersemayamnya kekuatan-kekuatan ilahi. Dunia bawah disebut tala, juga bertingkat tujuh, yang dihuni makhluk-makhluk gaib, raksasa, atau buta kala. Sementara manusia berada di dunia tengah sebagai titik keseimbangan antara keduanya. Publik dapat menafsirkan struktur ini sebagai gambaran kosmologis bahwa kehidupan bukan hanya tentang apa yang tampak di permukaan, melainkan juga tentang keterhubungan dengan dimensi-dimensi lain.

Yang menarik, konsep dunia bawah dalam Sunda Kuno tidak identik dengan neraka seperti dalam tradisi Kristen atau Islam. Dunia bawah bukan tempat kutukan semata, melainkan ruang yang berperan menjaga keseimbangan kosmos. Makhluk-makhluk di dunia bawah tidak harus dimusuhi, tetapi justru perlu dihibur, disenangkan, dan diperlakukan dengan hormat. Ritual-ritual yang dilakukan bukan untuk mengusir mereka, melainkan untuk menjaga hubungan baik. Publik bisa melihat hal ini sebagai pendekatan yang lebih rekonsiliatif, berbeda dengan tradisi eksorsisme Barat yang bersifat konfrontatif. Dalam Sunda Kuno, buta kala bukan semata musuh, melainkan bagian dari tatanan kosmos yang jika dihargai akan menjaga harmoni.

Pandangan ini memberikan inspirasi bagi cara kita melihat alam dan kehidupan modern. Alih-alih selalu memandang segala sesuatu dalam dikotomi hitam-putih, baik-jahat, kita bisa belajar dari Sunda Kuno bahwa ada peran penting dalam setiap entitas, bahkan yang tampak “menakutkan”. Keharmonisan tercipta bukan dengan menghapus yang dianggap buruk, tetapi dengan memahami perannya dan menempatkannya secara proporsional. Bagi publik masa kini, ini bisa menjadi refleksi tentang cara kita menghadapi tantangan sosial maupun lingkungan: bukan dengan menyingkirkan, melainkan dengan merangkul dan mencari keseimbangan.

Kosmologi Sunda Kuno juga tidak bisa dilepaskan dari konteks agama Hindu-Siwa yang memberi pengaruh besar pada masa itu. Konsep tujuh dunia atas dan tujuh dunia bawah serupa dengan yang ditemukan dalam teks Jawa Kuno dan tradisi Bali. Analogi sarang lebah dan tungku nasi yang digunakan untuk menggambarkan struktur kosmos menunjukkan kreativitas masyarakat Sunda dalam memvisualisasikan hal-hal abstrak. Publik bisa melihat bahwa filsafat Sunda Kuno mampu menggabungkan tradisi besar Hindu dengan pengalaman lokal, menciptakan kosmologi khas yang unik.

Jika dibandingkan dengan Bugis Kuno dalam kitab La Galigo, ada persamaan menarik. Bugis membagi dunia ke dalam dunia bawah laut, dunia atas langit, dan dunia tengah manusia. Manusia ditempatkan sebagai penjaga keseimbangan antara laut dan daratan, dengan konsekuensi etis yang konkret, misalnya larangan buang air kecil di sungai atau laut. Ini menunjukkan bagaimana kosmologi melahirkan etika lingkungan yang kuat. Publik bisa menilai bahwa kosmologi bukan sekadar mitos, melainkan juga panduan perilaku sehari-hari.

Dalam konteks Sunda Kuno, meski tidak terlalu eksplisit berbicara tentang lingkungan, ada teks-teks seperti Warugan Lemah yang menekankan pentingnya membaca tanda-tanda alam. Gelagat alam, seperti perubahan cuaca, gempa, atau bentuk tanah, dipahami sebagai pesan yang harus ditanggapi dengan bijak. Artinya, kosmologi Sunda Kuno tetap melahirkan etika ekologis: manusia harus peka terhadap alam dan meresponsnya dengan tindakan yang sesuai. Publik masa kini dapat belajar bahwa keberlanjutan hidup bergantung pada kemampuan kita membaca dan menjaga harmoni dengan alam.

Hal lain yang patut direnungkan adalah posisi manusia dalam kosmologi ini. Manusia bukan penguasa tunggal, melainkan penjaga keseimbangan antara dunia atas dan bawah. Peran ini menunjukkan kerendahan hati: manusia tidak lebih tinggi dari alam atau makhluk gaib, tetapi menjadi penghubung yang memastikan harmoni tetap terjaga. Publik bisa menafsirkan hal ini sebagai pelajaran penting di era modern, ketika manusia sering merasa superior dan mengeksploitasi alam tanpa batas. Pandangan Sunda Kuno mengingatkan bahwa kesombongan manusia justru bisa mengganggu keseimbangan kosmos, menghasilkan bencana dan disharmoni.

Kosmologi ini juga memberi makna simbolis tentang kehidupan manusia itu sendiri. Dunia atas bisa dipahami sebagai ranah spiritual, cita-cita luhur, dan koneksi dengan yang ilahi. Dunia bawah bisa dipahami sebagai sisi gelap manusia: nafsu, ketakutan, dan insting dasar. Dunia tengah adalah ruang kehidupan sehari-hari, tempat manusia berjuang menyeimbangkan keduanya. Publik dapat melihatnya sebagai refleksi bahwa kehidupan sejati adalah tentang menjaga keseimbangan antara idealisme dan realitas, antara spiritualitas dan duniawi.

Jika konsep ini dihidupkan kembali dalam kehidupan publik modern, mungkin akan muncul paradigma baru dalam menyikapi konflik sosial maupun politik. Daripada selalu mengusir atau menyingkirkan lawan, masyarakat bisa belajar pendekatan rekonsiliatif: memahami bahwa bahkan perbedaan dan pertentangan memiliki peran dalam menciptakan keseimbangan. Sama halnya dengan buta kala yang tidak dimusuhi, lawan sosial pun tidak harus dimusnahkan, tetapi bisa diajak berdamai demi harmoni.

Dalam dunia pendidikan, pemahaman kosmologi Sunda Kuno dapat dijadikan bahan untuk memperkaya kesadaran budaya generasi muda. Kosmologi bukan sekadar cerita lama, tetapi juga warisan filsafat yang sarat makna. Jika publik diberi ruang untuk mengenali kembali nilai-nilai ini, akan tumbuh rasa bangga sekaligus tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dengan alam, sesama, dan kekuatan spiritual.

Akhirnya, tulisan tentang kosmologi Sunda Kuno bisa disimpulkan sebagai ajakan untuk melihat dunia dengan kacamata keseimbangan. Dunia atas, tengah, dan bawah bukan hanya struktur kosmos, tetapi juga simbol kehidupan yang mengajarkan manusia untuk hidup selaras. Alih-alih memusuhi yang berbeda atau menyingkirkan yang dianggap buruk, kita diajak untuk merangkul semuanya dalam satu harmoni. Inilah pelajaran besar dari kearifan Sunda Kuno: bahwa kehidupan bukan tentang kemenangan satu pihak, melainkan tentang keseimbangan yang terus dijaga.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel