Perempuan dalam Sistem Keagamaan Sunda Kuno
Kearifan Leluhur: Harmoni Pluralisme dan Penghargaan Perempuan dalam Sistem Keagamaan Sunda Kuno
Ditulis oleh: Akang Marta
Membicarakan Sunda Kuno selalu membawa kita pada perenungan mendalam tentang
bagaimana sebuah peradaban menafsirkan hubungan manusia dengan yang ilahi.
Dalam teks-teks Sunda Kuno, keunikan sistem keagamaan tampil dengan wajah yang
berbeda dari kebanyakan tradisi besar lain di Nusantara. Di sana kita menemukan
campuran antara pengaruh Hindu-Siwa, Buddha, dan perlahan-lahan Islam, tetapi
dengan cara yang khas, lentur, dan orisinal. Inilah yang membuat sistem
keagamaan Sunda Kuno menarik untuk dikaji, bukan hanya sebagai catatan sejarah,
melainkan juga sebagai cermin kearifan leluhur yang masih bisa memberi
inspirasi pada masyarakat modern.
Ketika agama-agama besar masuk ke Nusantara, prosesnya tidak pernah berjalan
dalam ruang kosong. Selalu ada pertemuan, negosiasi, dan adaptasi antara ajaran
baru dengan kultur lokal yang sudah mengakar. Hal ini pun terjadi di tanah
Sunda. Naskah Sunda Kuno menunjukkan bagaimana masyarakat saat itu tidak
sekadar menerima pengaruh Hindu atau Buddha secara mentah, tetapi juga
meramunya dalam kosmologi sendiri. Bahkan, ketika Islam mulai hadir, proses
integrasi berjalan relatif mulus karena adanya kesamaan struktur konseptual.
Kepercayaan akan Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wisesa, misalnya,
memperlihatkan konsep “oneness” yang tidak jauh berbeda dari tauhid dalam
Islam.
Fenomena ini menarik karena menegaskan bahwa kosmologi Sunda Kuno
sesungguhnya memiliki titik temu dengan tradisi monoteistik. Memang di dalam
teks banyak disebutkan dewa-dewi, perjalanan roh ke berbagai alam, dan hirarki
kosmik yang rumit. Tetapi di atas semua itu selalu ada satu entitas tertinggi
yang disebut dengan berbagai nama: Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wisesa,
Purwawisesa, atau Acintya—yang tak terpikirkan dan tak terbayangkan. Di sini
terlihat bahwa Sunda Kuno memiliki konsep ketuhanan yang transenden, satu
sumber segala yang ada, meskipun manifestasinya tampil dalam berbagai wujud
sakala dan niskala.
Keterbukaan inilah yang membuat kedatangan Islam tidak menimbulkan
pertentangan yang keras. Sebagaimana dalam tradisi Jawa, banyak teks
Hindu-Buddha bisa “diterjemahkan” ke dalam nuansa Islam tanpa kehilangan
struktur dasarnya. Contoh klasik adalah ketika sebuah teks bercorak Buddha
seperti Dewa Ruci kemudian diberi tafsir Islam sehingga berubah menjadi teks
sufistik. Hal yang sama mungkin terjadi dalam tradisi Sunda. Keberadaan Sang
Hyang Tunggal dapat dipadukan dengan konsep Allah tanpa harus menghapus
kosmologi lama. Inilah kearifan budaya lokal: kemampuan untuk mengintegrasikan
hal-hal baru tanpa kehilangan jati diri.
Keunikan lain dari sistem keagamaan Sunda Kuno adalah adanya kosmologi
bertingkat atau “cascaded heaven”. Dalam teks-teks tertentu, roh digambarkan
menempuh perjalanan melewati berbagai lapisan surga hingga mencapai Yang Maha
Tinggi. Menariknya, beberapa tingkatan surga itu bersifat gender-spesifik,
misalnya surga yang diperuntukkan bagi perempuan yang taat dan patuh pada
suami. Hal ini menampilkan corak feminis yang jarang ditemui dalam tradisi lain
di Nusantara. Bahkan, ada tokoh perempuan yang menempati posisi tertinggi dalam
struktur kosmologi Sunda: Sunan Ambu. Ia dipandang sebagai entitas agung yang
berada di atas Panca Dewata—Iswara, Brahma, Mahadewa, Wisnu, dan Siwa.
Keberadaan Sunan Ambu ini menandakan pengakuan terhadap kekuatan feminin dalam
dimensi ketuhanan, sesuatu yang khas dan tidak normatif dibanding tradisi
Hindu-Buddha lain.
Fakta bahwa kosmologi Sunda menempatkan figur perempuan dalam posisi
tertinggi adalah sesuatu yang sangat progresif untuk ukuran abad ke-14 atau
ke-15. Di banyak tradisi keagamaan besar, perempuan cenderung ditempatkan di
posisi subordinat, bahkan sering dipandang sekadar pelengkap. Namun, dalam
Sunda Kuno, perempuan justru mendapat tempat sakral, bahkan menjadi simbol
tertinggi dari kekuatan ilahi. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran mendalam
tentang keseimbangan antara maskulin dan feminin dalam tatanan kosmos.
Pandangan semacam ini bisa memberi inspirasi baru bagi masyarakat modern yang
sedang berjuang mewujudkan kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan.
Selain itu, teks-teks Sunda Kuno juga memperlihatkan pluralitas yang
harmonis. Dalam salah satu naskah, terdapat tiga salam sekaligus: Om Namah
Shivaya untuk agama Siwa, Namo Buddhaya untuk agama Buddha, dan Namo
Jiwa Paripurna untuk penghormatan kepada leluhur. Kehadiran tiga salam ini
menunjukkan sikap inklusif masyarakat Sunda Kuno terhadap keberagaman
keyakinan. Mereka tidak merasa perlu memilih salah satu dan meniadakan yang
lain, melainkan merangkul semuanya sebagai bagian dari jalan spiritual manusia.
Bahkan, ketika Islam datang, salam “Assalamu’alaikum” bisa hidup berdampingan
dengan salam-salam lain tanpa harus saling meniadakan.
Sikap pluralis ini sejalan dengan definisi agama menurut Émile Durkheim,
yang menyebut agama sebagai sistem kepercayaan dan praktik yang menyatukan
komunitas. Sunda Kuno memenuhi definisi ini karena sistem kepercayaannya tidak
hanya mencakup kosmologi abstrak, tetapi juga aturan praktis yang mengatur
kehidupan masyarakat. Ada ajaran untuk orang awam, untuk pemimpin spiritual,
bahkan untuk pemimpin politik. Dengan kata lain, agama dalam konteks Sunda Kuno
bukanlah institusi formal seperti yang kita kenal sekarang, melainkan cara
hidup yang menyatukan nilai, praktik, dan tata sosial.
Namun, penting juga untuk menekankan bahwa kita tidak bisa melabeli sistem
kepercayaan Sunda Kuno sebagai “agama Sunda” dalam arti agama formal. Lebih
tepat jika menyebutnya sebagai agama orang Sunda pada abad ke-15, sebuah
konfigurasi keyakinan yang hidup pada masa tertentu. Coraknya memang dominan
Saiwa, tetapi di dalamnya juga ada pengaruh Buddha, lokalitas Sunda, dan
kemudian Islam. Inilah yang membuatnya unik sekaligus kompleks. Tidak ada
denominasi yang rigid, melainkan jaringan kepercayaan yang saling terkait, luwes,
dan adaptif.
Tulisan tentang keunikan sistem keagamaan Sunda Kuno seharusnya diarahkan
pada apresiasi terhadap keragaman dan keterbukaan yang diwariskan leluhur. Di
satu sisi, kita melihat bagaimana masyarakat Sunda mampu menginternalisasi
pengaruh luar tanpa kehilangan identitas. Di sisi lain, kita menemukan
nilai-nilai progresif yang bahkan relevan untuk zaman modern, seperti pengakuan
terhadap peran perempuan dalam kosmos dan penghormatan terhadap pluralitas
agama.
Sayangnya, warisan berharga ini sering kali hanya dikenal di lingkaran
akademis. Teks-teks Sunda Kuno masih jarang dibaca oleh masyarakat luas,
apalagi dijadikan inspirasi kebudayaan kontemporer. Padahal, jika digali lebih
dalam, naskah-naskah tersebut bisa memberi sumbangan penting dalam membangun
wajah Indonesia yang inklusif, toleran, dan berkeadilan gender. Bayangkan jika
konsep Sunan Ambu diajarkan di sekolah-sekolah sebagai bagian dari sejarah
spiritual Nusantara. Anak-anak tidak hanya mengenal dewa-dewa Hindu atau
tokoh-tokoh Islam, tetapi juga figur perempuan agung yang menjadi simbol
ketuhanan dalam tradisi leluhur mereka.
Pelajaran lain yang bisa dipetik dari sistem keagamaan Sunda Kuno adalah
kesadaran bahwa agama selalu merupakan hasil dialektika antara ajaran universal
dan konteks lokal. Islam, Hindu, atau Buddha mungkin lahir di luar Nusantara,
tetapi ketika masuk ke tanah Sunda, ia bertransformasi sesuai dengan kultur
yang ada. Proses ini menghasilkan bentuk yang unik, tidak bisa disamakan dengan
yang ada di India atau Arab. Kesadaran ini penting karena sering kali kita
terjebak pada pemahaman agama yang kaku, seolah harus identik dengan bentuk
asalnya. Padahal, sejarah Nusantara membuktikan bahwa agama bisa hidup dan
berkembang justru karena kemampuannya beradaptasi dengan budaya setempat.
Pada akhirnya, sistem keagamaan Sunda Kuno memberi kita pesan penting
tentang jati diri bangsa. Leluhur kita bukanlah masyarakat yang pasif,
melainkan kreatif dan cerdas dalam menafsirkan agama. Mereka tidak menolak hal
baru, tetapi juga tidak menanggalkan yang lama. Mereka merangkul keragaman,
mengakui peran perempuan, dan menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
Nilai-nilai ini seharusnya menjadi inspirasi dalam membangun Indonesia masa
kini: sebuah bangsa yang religius tanpa fanatisme, terbuka tanpa kehilangan
identitas, dan modern tanpa melupakan akar.