Keadilan yang Ditunggu, Demokrasi yang Dipertaruhkan
Keadilan yang Ditunggu,
Demokrasi yang Dipertaruhkan
Sembilan korban jiwa adalah harga yang terlalu mahal bila hanya dijadikan
komoditas politik. Mereka bukan sekadar pion dalam papan catur kekuasaan yang
mudah dikorbankan. Kehadiran mereka adalah pengingat bahwa demokrasi seharusnya
berlandaskan pada martabat manusia. Bila negara gagal mengungkap dalang
kerusuhan, itu berarti negara lalai menjalankan mandat konstitusinya. Dan bila
aparat justru ikut bermain dalam kerumunan, maka kepercayaan publik runtuh
seketika.
Opini publik pada titik ini tidak bisa dipandang sebagai sekadar keluhan
emosional. Ia adalah peringatan keras bahwa rakyat menuntut keadilan yang
nyata. Demokrasi tidak akan bertahan bila hukum dipermainkan dan keadilan hanya
menjadi jargon. Rakyat menolak dipaksa percaya pada retorika kosong tanpa bukti
yang jelas. Inilah ujian sejati bagi integritas negara.
Kerusuhan bukan hanya soal kekacauan di jalanan, tetapi juga soal legitimasi
di mata rakyat. Ketika nyawa manusia melayang, setiap kata dan tindakan
pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan. Publik menuntut transparansi,
bukan alibi yang penuh kebohongan. Keterlambatan mengungkap kebenaran hanya
memperlebar jurang ketidakpercayaan. Pada akhirnya, demokrasi melemah bukan
karena rakyat, tetapi karena penguasa yang abai.
Keberanian untuk mengungkap dalang kerusuhan menjadi kunci untuk memulihkan
kepercayaan publik. Jika negara berani membuka semua fakta, maka demokrasi akan
menemukan pijakan kokoh. Namun jika kebenaran terus ditahan, luka bangsa hanya
akan semakin menganga. Sembilan korban akan selalu menjadi saksi bisu dari
kelalaian negara. Dan sejarah tidak akan pernah melupakan pengkhianatan
terhadap keadilan.
Maka, bangsa ini harus memilih: menjadikan keadilan sebagai fondasi
demokrasi, atau membiarkannya runtuh oleh permainan politik. Demokrasi bukan
hanya soal pemilu, tetapi juga soal keberanian menegakkan hukum secara jujur.
Setiap korban layak mendapat kebenaran, bukan sekadar ucapan belasungkawa. Jika
negara serius menjaga demokrasi, keadilan tidak boleh lagi ditunda. Sebab tanpa
keadilan, demokrasi hanyalah topeng rapuh yang siap pecah kapan saja.
Kontributor
Akang Marta Indramatradisi.