Publik, Oligarki, dan Ujian Kepemimpinan Prabowo (Bagian 8)
Katup Pengaman yang Dinanti
Sejarah selalu memberi pelajaran berharga bagi bangsa. Runtuhnya
kekuasaan Soekarno terjadi karena ia gagal merespons desakan publik untuk
membubarkan PKI. Ketidakmampuan itu menciptakan ketegangan yang berujung pada
kehilangan legitimasi. Begitu pula Soeharto, yang akhirnya tumbang karena
menolak reformasi yang terus didorong rakyat. Penolakan terhadap perubahan
membuat rakyat merasa harus mengambil langkah sendiri.
Habibie, meski hanya sebentar memimpin, menunjukkan langkah berbeda. Ia
berani membuka katup pengaman politik yang lama terkunci. Tahanan politik dibebaskan,
pers diberi kebebasan, dan partai-partai baru diberi ruang tumbuh. Kebijakan
ini membuat rakyat menaruh simpati pada dirinya. Habibie dipandang berani
mengambil risiko demi menghindari ledakan sosial yang lebih besar.
Konteks hari ini tidak jauh berbeda dengan masa lalu. Publik kembali
menunggu sebuah langkah sederhana namun menentukan. Prabowo, dengan kekuasaan
penuh di tangan, dihadapkan pada ujian serupa. Katup pengaman yang dibutuhkan
rakyat bukan sekadar jargon politik. Namun tindakan nyata yang bisa
mengembalikan rasa percaya.
Langkah itu sejatinya tidak serumit yang dibayangkan. Mengganti Kapolri
yang dianggap tidak efektif, mengevaluasi kinerja kabinet, dan menghentikan
dominasi oligarki. Tiga hal itu cukup untuk menunjukkan keberpihakan pada
rakyat. Keberanian dalam mengambil keputusan akan menjadi pembeda. Sebab tanpa
langkah ini, narasi perubahan akan kehilangan substansinya.
Jika katup pengaman tidak segera dibuka, maka kekecewaan rakyat hanya
akan menumpuk. Prabowo berisiko dinilai sebagai bayangan dari para presiden
sebelumnya. Bukan sebagai pemimpin yang mampu menghadirkan terobosan baru.
Harapan publik bisa berubah menjadi kecurigaan dan penolakan. Pada akhirnya,
sejarah akan kembali berulang dengan cara yang sama.
Kontributor
Akang Marta Indramayutradisi