Antara Warisan Jokowi, Beban Prabowo, dan Tuntutan Rakyat (Bagian 3)
Prabowo dan Janji yang
Membingungkan
Prabowo dan janji yang membingungkan kini menjadi sorotan publik. Ia
naik dengan narasi besar tentang persatuan, keberanian, dan kedaulatan yang terdengar
gagah. Namun, rakyat segera menemukan kontradiksi di balik pidato tersebut.
Kabinet yang dibentuknya begitu gemuk, penuh kompromi politik yang menyerupai
pesta pora jabatan. Di tengah euforia kekuasaan, rakyat kecil justru menghadapi
kenyataan pahit.
Program makan bergizi gratis yang digembar-gemborkan sebagai wujud
kepedulian rakyat ternyata membawa konsekuensi anggaran raksasa. Ratusan
triliun rupiah digelontorkan tanpa kejelasan efektivitasnya. Ironisnya, di saat
program ini dikampanyekan sebagai penyelamat bangsa, rakyat kecil justru
kehilangan pegangan. Pemutusan kontrak kerja, pengurangan tunjangan, bahkan
ancaman kehilangan pekerjaan menjadi bagian dari realita sehari-hari.
Ketimpangan antara janji manis dan praktik nyata semakin terasa.
Prabowo berbicara lantang soal efisiensi sebagai jalan keluar. Namun,
rakyat bertanya, efisiensi macam apa yang dimaksud? Jika efisiensi itu berarti
memangkas hak rakyat kecil, maka ia berubah menjadi bumerang. Honorer yang
berharap diangkat menjadi PNS harus menelan kekecewaan. Bahkan, para penyiar
RRI kehilangan pekerjaan mereka demi alasan yang sulit diterima.
Tidak berhenti sampai di sana, daerah-daerah pun dipaksa memikul beban
tambahan. Ketika dana tidak mengalir dari pusat, pemerintah daerah justru
didorong menaikkan pajak bumi dan bangunan hingga 250%. Beban ini langsung
menghantam rakyat kecil yang hidup pas-pasan. Ironi besar muncul: rakyat miskin
menjadi korban, sementara pejabat tetap bergelimang tunjangan. Konsep efisiensi
yang dibawa tampak semakin jauh dari rasa keadilan.
Pertanyaan pun muncul dengan lantang dari hati rakyat yang terluka.
Mengapa yang harus berkorban selalu rakyat miskin? Mengapa pejabat tetap bisa
menikmati fasilitas mewah tanpa tersentuh kebijakan penghematan? Janji-janji
persatuan dan keberanian berubah menjadi wajah kontradiktif dari sebuah
kekuasaan. Rakyat menanti jawaban, tetapi yang mereka dapatkan hanyalah
kebijakan yang semakin menekan. Inilah dilema besar yang mewarnai awal
perjalanan pemerintahan Prabowo.
Kontributor
Akang Marta Indramayutradisi