Ads

Publik, Oligarki, dan Ujian Kepemimpinan Prabowo (Bagian 2)

 

Bayang-Bayang Pertemuan 13 Oktober



Bayang-bayang pertemuan 13 Oktober menjadi titik penting dalam memahami dinamika politik hari ini. Pertemuan antara Prabowo dan Jokowi di Solo kala itu bukan sekadar silaturahmi. Banyak pihak menilai bahwa di balik jabat tangan hangat, terselip agenda besar. Disebut-sebut ada penyodoran susunan kabinet yang sarat titipan oligarki. Inilah yang kemudian menimbulkan persepsi publik tentang kelanjutan politik gaya lama.

Kabinet yang lahir dari pertemuan itu kemudian dikenal dengan sebutan “Jokowi Jilid Tiga”. Alasannya sederhana, wajah kabinet tersebut nyaris sama dengan periode sebelumnya. Publik pun merasakan bahwa perubahan yang dijanjikan hanya sebatas retorika. Prabowo yang diharapkan membawa napas baru, justru terlihat terjebak dalam pola lama. Kritik pun bermunculan dari berbagai kalangan yang mendambakan arah politik berbeda.

Fakta lain yang tidak bisa diabaikan adalah membengkaknya formasi kabinet Prabowo. Susunan awal yang ia rancang harus dipadukan dengan berbagai titipan kepentingan. Akhirnya, lahirlah kabinet jumbo yang dianggap simbol kompromi politik. Kompromi ini memang menyatukan berbagai kekuatan, tetapi menyisakan ganjalan besar. Publik bertanya-tanya, apakah politik Indonesia hanya akan terus dikuasai kepentingan elite?

Dalam praktiknya, kompromi politik selalu membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Masyarakat menginginkan perubahan yang nyata, bukan sekadar pergantian wajah tanpa substansi. Harapan terhadap Prabowo adalah keberanian untuk keluar dari bayang-bayang oligarki. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan betapa sulitnya melepaskan diri dari jaringan kepentingan lama. Ketegangan antara idealisme perubahan dan realitas kompromi semakin jelas terlihat.

Kini, ketika Prabowo mulai bergerak menertibkan korupsi dan menyasar oligarki, perlawanan pun muncul. Oligarki tidak pernah benar-benar hilang; mereka hanya bersembunyi menunggu momentum. Kerusuhan yang terjadi setelah demo 25 Agustus menimbulkan pertanyaan besar. Apakah itu murni suara rakyat, ataukah ada penumpang gelap yang menungganginya? Jawaban dari pertanyaan ini masih menggantung di udara, menanti keberanian politik untuk mengungkapnya.

Kontributor

Akang Marta Indramayutradisi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel