Pertarungan Narasi: Siapa yang Untung?
Pertarungan Narasi: Siapa
yang Untung?
Dalam dunia politik, kerusuhan tidak pernah hadir sebagai peristiwa netral.
Selalu ada pihak yang mengambil manfaat dari kekacauan yang terjadi. Pertanyaan
besar pun muncul: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari peristiwa 25 Agustus?
Apakah oposisi yang hendak melemahkan legitimasi pemerintah? Ataukah kelompok
oligarki yang ingin menutupi bau busuk kasus korupsi dengan asap kerusuhan?
Tidak menutup kemungkinan, pemerintah sendiri yang menciptakan narasi musuh
bersama demi menguatkan posisinya. Retorika “perang melawan perusuh” bisa
dipakai untuk memobilisasi dukungan rakyat. Dalam politik, menciptakan lawan
imajiner sering kali lebih efektif daripada memberi jawaban nyata. Kerusuhan
pun bisa dijadikan panggung untuk memperlihatkan ketegasan, meskipun
mengorbankan kejujuran. Pada titik ini, kebenaran berubah menjadi komoditas
politik yang bisa diperdagangkan.
Istilah “aktor intelektual” menjadi kartu truf yang dimainkan di meja
kekuasaan. Dengan menyebut ada dalang, pemerintah bisa menunda jawaban dan
meredam desakan publik. Narasi ini juga berfungsi menjaga tensi agar tidak
padam terlalu cepat, sehingga publik tetap dalam ketegangan. Namun arah
kecurigaan pun bisa diarahkan ke berbagai pihak sesuai kebutuhan politik. Semua
ini memperlihatkan betapa narasi bisa lebih menentukan dibanding fakta.
Akan tetapi, publik hari ini bukan lagi massa buta yang bisa digiring dengan
mudah. Mereka punya akses informasi, kemampuan analisis, dan ruang untuk
menyuarakan kecurigaan. Media sosial memungkinkan rakyat menjadi pengawas yang
lebih kritis terhadap gerak-gerik kekuasaan. Ketika kebenaran ditahan terlalu
lama, publik justru semakin yakin ada sesuatu yang sengaja disembunyikan. Rasa
curiga inilah yang memperdalam krisis kepercayaan.
Maka, pertarungan narasi bukan hanya soal siapa yang paling lantang
bersuara. Ia adalah permainan besar untuk menentukan siapa yang menguasai
persepsi publik. Di balik setiap kerusuhan, selalu ada kepentingan yang
menunggu panen. Jika pemerintah tidak segera membuka fakta dengan transparan,
publik akan menilai bahwa kekuasaan lebih sibuk menjaga citra daripada
menegakkan keadilan. Pada akhirnya, siapa yang diuntungkan akan bergantung pada
siapa yang paling lihai mengendalikan cerita.
Kontributor
Akang Marta Indramatradisi.