Jejak Orde Lama dan Refleksi 1998
Jejak Orde Lama dan
Refleksi 1998
Mari kita melihat kembali perjalanan sejarah bangsa dengan cermat. Pada
tahun 1998, verifikasi video maupun dokumentasi kerusuhan hampir mustahil
dilakukan secara cepat. Informasi mengalir terbatas, media pun dikendalikan,
sehingga kebenaran sering tertutup kabut kekuasaan. Namun tahun 2025
menghadirkan situasi berbeda: setiap orang adalah pewarta, dan setiap kamera
bisa menjadi saksi. Ironisnya, justru di era keterbukaan digital ini, kebenaran
semakin sulit dipastikan.
Video yang tersebar kini tidak lagi otomatis menghadirkan fakta, melainkan
potongan realitas yang bisa dipelintir. Narasi yang diulang-ulang dapat
dipelihara hingga menyerupai kebenaran. Publik pun dipaksa menjadi hakim tanpa
bekal bukti yang lengkap. Situasi ini menciptakan ruang abu-abu yang rentan
diperalat oleh kepentingan politik. Transparansi teknologi yang semestinya
menyingkap kebenaran justru melahirkan kebingungan baru.
Kerusuhan 25 Agustus memperlihatkan betapa sejarah sering kali berulang
dengan pola yang nyaris sama. Rakyat marah, aparat disalahkan, dan aktor
intelektual tetap kabur dari tanggung jawab. Pola lama ini kini mendapat wajah
baru dengan bumbu digital. Informasi bergerak lebih cepat, tetapi jawabannya
justru makin jauh dari jangkauan publik. Seolah-olah teknologi mempercepat
pertanyaan, tetapi memperlambat kebenaran.
Jika pada masa lalu manipulasi dilakukan lewat media cetak dan televisi,
kini ia hadir melalui trending topic dan algoritma. Buzzer, bot, dan jaringan
digital menciptakan gema yang menenggelamkan suara jernih. Fakta yang kecil
bisa diperbesar, sedangkan kebenaran yang besar bisa diperkecil hingga nyaris
tak terdengar. Inilah bentuk baru dari propaganda politik di era digital.
Bentuk boleh berubah, tetapi esensi manipulasi tetap sama.
Refleksi atas perjalanan dari Orde Lama hingga reformasi 1998 mengingatkan
kita pada satu hal: demokrasi selalu menghadapi ujian dari kebenaran yang
diputarbalikkan. Kini tantangannya bukan lagi media konvensional, melainkan
mesin algoritmik yang bekerja tanpa henti. Rakyat harus lebih kritis, lebih
cerdas, dan tidak mudah larut dalam narasi yang sengaja dibangun. Jika tidak,
kita hanya akan menjadi penonton dalam drama yang sama dengan panggung berbeda.
Sejarah pun akan terus berputar tanpa pernah memberikan pelajaran sejati.
Kontributor
Akang Marta Indramatradisi.