Dari Jalanan ke Hati Nurani
Dari Jalanan ke Hati Nurani: Suara Publik atas 25 Agustus
Ditulis
oleh: Akang Marta
Kontributor
Indramayutradisi
Dari jam tujuh pagi hingga jam sepuluh malam, tanggal 25 Agustus menjadi
saksi bahwa rakyat Indonesia mampu menjaga dirinya sendiri. Tidak ada
kerusuhan. Tidak ada kekacauan. Tidak ada bentrokan yang menodai ruang publik.
Semua berjalan damai, dan siapa yang menjaga? Bukan aparat, bukan tentara,
bukan polisi—tetapi mahasiswa sendiri yang berdiri di barisan depan, menjaga
ketertiban, mengawal aspirasi, dan bahkan menangkap para provokator yang hendak
merusak aksi. Bukankah itu potret yang mestinya membuat kita bangga? Bukankah
itu simbol bahwa generasi muda masih punya idealisme yang tidak bisa dibeli
dengan janji atau kekuasaan?
Ironi besar justru muncul dari sikap negara.
Alih-alih memberi apresiasi, justru ancaman asing yang sibuk dibicarakan.
Alih-alih mengakui ketulusan rakyat, justru narasi konspirasi yang dijual ke
publik. Padahal mata kita melihat, telinga kita mendengar, dan hati kita
mengakui bahwa mahasiswa sudah membuktikan kedewasaannya. Mereka bukan perusuh.
Mereka bukan massa bayaran. Mereka adalah anak-anak bangsa yang berteriak
karena masih punya kepedulian. Mereka turun ke jalan bukan untuk membakar ban,
bukan untuk merusak fasilitas umum, tetapi untuk menjaga agar nurani republik
ini tidak padam.
Lalu, siapa yang sesungguhnya membuat gaduh?
Mari kita jujur, provokator selalu ada. Namun kali ini fakta yang tak bisa
dibantah ialah para provokator justru ditangkap oleh mahasiswa sendiri. Video
demi video menunjukkan bagaimana massa aksi mengamankan penyusup, menyerahkan
kepada pihak berwenang, bahkan menjaga agar tidak terjadi main hakim sendiri.
Di sinilah letak paradoksnya: mahasiswa yang menjaga demokrasi, negara yang
mencurigai rakyatnya. Bukankah itu terbalik? Bukankah seharusnya negara hadir
sebagai pelindung, bukan sebagai pihak yang sibuk mencari kambing hitam?
Dalam diskusi publik, muncul perdebatan
tentang siapa dalang dari semua ini. Ada yang menunjuk ke isu TikTok, hashtag bubarkan DPR yang mendadak viral, ada yang
menunjuk ke kemungkinan jaringan mafia, bahkan sampai ke spekulasi keterlibatan
tokoh-tokoh tertentu. Tetapi pertanyaannya sederhana: benarkah publik peduli
siapa dalang kerusuhan, jika pemerintah gagal memberi jawaban atas keresahan
rakyat? Bukankah lebih penting pemerintah melakukan evaluasi, mendengar suara
rakyat, dan memberikan jawaban jujur? Sebab siapa pun dalangnya, rakyat sudah
menunjukkan bahwa mereka bisa menjaga aksi tetap damai. Yang gagal justru
negara, karena abai terhadap tuntutan keadilan.
Kita perlu tarik garis besar. Dari semua yang
terjadi, ada satu pesan penting: rakyat Indonesia, terutama generasi muda,
sudah mencapai kesadaran politik baru. Mereka tidak lagi mudah dipecah belah
dengan isu provokator. Mereka tidak lagi buta pada permainan wacana. Mereka mampu
berpikir kritis, mampu membedakan mana aspirasi murni dan mana provokasi
murahan. Mereka membersihkan jalan setelah aksi, mereka merawat solidaritas,
mereka menunjukkan bahwa demo bukan sinonim dari kerusuhan. Apakah negara
menyadari hal ini? Atau justru menutup mata, karena yang ditakutkan bukan
kerusuhan, melainkan kesadaran rakyat yang kian matang?
Generasi emas ini lahir bukan dari tangan
pemerintah, melainkan dari akses informasi yang terbuka. Internet telah
melahirkan anak muda yang kritis, yang fasih berbahasa dunia, yang tahu
membedakan fakta dari propaganda. Mereka mengajarkan pada kita bahwa demokrasi
bukanlah milik elit, tetapi milik rakyat. Mereka menegaskan bahwa aksi jalanan
bukan ancaman, tetapi alarm bagi negara agar tidak salah arah. Mereka adalah
cermin masa depan Indonesia, yang seharusnya disambut dengan pelukan, bukan
dengan stigma.
Namun apa yang dilakukan pemerintah? Lagi-lagi
narasi asing diangkat. Lagi-lagi tuduhan terorisme disematkan. Lagi-lagi suara
rakyat dicurigai sebagai konspirasi. Seolah-olah rakyat yang turun ke jalan
tidak punya akal, tidak punya hati, dan hanya pion dari skenario besar.
Padahal, siapa yang bisa menyangkal bahwa harga-harga melambung? Siapa yang
bisa menutup mata bahwa daya beli rakyat jatuh? Siapa yang bisa menolak fakta
bahwa tunjangan pejabat justru naik di tengah penderitaan? Itu semua nyata,
bukan ilusi. Dan itulah alasan rakyat marah.
Mari kita bicara tentang ketakutan. Ada yang
mengatakan dirinya tidak takut mati, tidak takut penjara, tetapi takut jika
anak-anaknya tumbuh di negeri yang salah arah. Bukankah itu juga ketakutan kita
semua? Kita takut hidup dalam negara yang sibuk mencari kambing hitam, bukan
solusi. Kita takut hidup di republik yang lebih memelihara arogansi elit
ketimbang kesejahteraan rakyat. Kita takut melihat demokrasi berubah menjadi
panggung sandiwara, di mana nyawa rakyat hanya dianggap angka statistik. Apakah
itu ketakutan yang berlebihan? Tidak. Itu adalah ketakutan paling wajar dari
rakyat yang mencintai negerinya.
Maka jangan heran jika publik bertanya-tanya:
mengapa gas air mata ditembakkan ke kampus? Mengapa ada kartu identitas
misterius yang tiba-tiba muncul lalu dibantah sebagai hoaks tanpa penjelasan
memadai? Mengapa negara tidak segera membuka siapa dalang kerusuhan dengan
segala perangkat intelijennya? Tiga pertanyaan sederhana ini seharusnya bisa
dijawab dengan mudah. Namun ketika jawaban tak kunjung datang, yang runtuh
bukan hanya kepercayaan, melainkan legitimasi. Apakah pemerintah tidak sadar
bahwa legitimasi jauh lebih berharga daripada sekadar kursi kekuasaan?
Sementara itu, rakyat terus menunjukkan
kebesaran hati. Di banyak daerah, mahasiswa yang turun ke jalan membersihkan
sampah setelah aksi. Mereka menjaga agar tidak ada yang terprovokasi. Mereka
mengawal teman-temannya agar tidak terjebak dalam jebakan anarki. Mereka
menunjukkan akal sehat yang terkadang lebih dewasa dari mereka yang duduk di
kursi kekuasaan. Bukankah ini ironis? Ketika mahasiswa menjadi benteng terakhir
demokrasi, negara justru sibuk mencurigai rakyatnya sendiri.
Apakah kita akan membiarkan hal ini terus
berulang? Apakah kita akan diam saat tragedi demi tragedi dikubur dalam kabut
retorika? Bukankah sembilan korban nyawa di masa lalu sudah cukup menjadi
pelajaran bahwa satu nyawa pun terlalu mahal untuk dikorbankan demi menjaga
wajah penguasa? Demokrasi bukan tentang menyelamatkan muka elit, melainkan
tentang melindungi nyawa rakyat. Jika negara gagal memahami itu, maka rakyatlah
yang akan berdiri mengingatkan.
Mari kita bicara lebih jauh tentang
kepemimpinan. Ada buku yang menyebut lima jenis pemimpin: ada yang hancur
karena menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, ada yang hancur karena mewariskan
kursi pada anak-anak yang tidak kompeten, ada yang hancur karena terlalu
percaya pada bisikan yang menipu. Dan ada satu yang berhasil: pemimpin yang
peduli, yang memimpin tim kecil, yang bergerak linier bersama rakyatnya.
Pertanyaannya, pemimpin macam apa yang kita miliki hari ini? Apakah ia King
Henry yang bergerak bersama rakyat, atau Macbeth yang hancur oleh nafsu dan bisikan?
Rakyat tidak butuh jawaban penuh intrik.
Rakyat hanya butuh sikap sederhana: sebuah permintaan maaf, sebuah langkah
perbaikan, sebuah tanda bahwa negara masih punya hati. Apa salahnya meminta
maaf ketika rakyat terluka? Apa salahnya melakukan koreksi agar nyawa tidak
lagi melayang sia-sia? Satu kebijakan benar bisa menyelamatkan ribuan nyawa,
satu kebijakan salah bisa menghancurkan legitimasi negara. Bukankah itu
pelajaran sederhana dalam politik?
Jangan lagi sibuk mencari kambing hitam di
TikTok atau Twitter. Jangan lagi sibuk menunjuk jari ke sana kemari tanpa
memberi jawaban. Publik tidak butuh narasi panjang, publik butuh kepastian.
Publik butuh transparansi, butuh penjelasan, butuh empati. Bukankah itu tugas
negara? Bukankah itu janji demokrasi?
Kita harus jujur. Mau siapa pun dalangnya, mau
bagaimana pun skenarionya, satu hal yang jelas: rakyat sudah menunjukkan
kedewasaan, sementara negara masih tertinggal dalam kepanikan. Apakah ini yang
kita inginkan dari republik yang sudah 79 tahun merdeka? Apakah ini wajah
demokrasi yang kita banggakan di dunia internasional? Atau sebenarnya kita
sedang berjalan mundur, membiarkan otoritarianisme tumbuh lagi dengan wajah
baru?
Demokrasi hanya akan hidup jika rakyatnya
tidak dipandang murah. Demokrasi hanya akan bertahan jika suara rakyat tidak
lagi dituduh sebagai teror. Demokrasi hanya akan bernapas jika pemerintah
berani jujur dan rendah hati. Dan hari ini, suara itu kembali menggema dari
jalanan. Bukan dari ruang-ruang elit, bukan dari gedung-gedung megah, tetapi
dari mahasiswa, buruh, dan rakyat kecil yang menolak tunduk pada ketidakadilan.
Maka mari kita tegaskan: dari jam tujuh pagi
hingga jam sepuluh malam, 25 Agustus membuktikan satu hal penting—rakyat bisa
menjaga dirinya sendiri. Aksi berjalan damai, provokator ditangkap, dan
mahasiswa menjadi garda terdepan demokrasi. Bukankah itu seharusnya menjadi
kebanggaan kita? Bukankah itu seharusnya menjadi momentum bagi negara untuk
berbenah? Atau justru ini akan menjadi catatan sejarah bahwa rakyat lebih matang
dari penguasanya?
Pada akhirnya, opini publik harus berdiri
sebagai benteng terakhir. Kita tidak boleh diam ketika kebenaran dipelintir.
Kita tidak boleh tunduk ketika demokrasi dijadikan panggung sandiwara. Kita
tidak boleh pasrah ketika nyawa rakyat dianggap angka. Sebab republik ini bukan
milik segelintir elit, melainkan milik kita semua. Dan jika negara gagal
mendengar, maka rakyatlah yang akan terus berbicara, terus menuntut, terus
mendesak.