Publik, Oligarki, dan Ujian Kepemimpinan Prabowo (Bagian 10)
Ujian di Mata Dunia
Ingatlah selalu bahwa sorotan dunia internasional kini tertuju pada
Indonesia. Prabowo sempat mendapat apresiasi karena keberaniannya memberikan
amnesti dan abolisi. Citra positif itu adalah modal penting untuk memperkuat
posisi bangsa di mata global. Namun, modal itu bisa runtuh seketika bila ia
memilih jalan represif. Dunia mencatat setiap langkah, baik yang kecil maupun
besar.
Masyarakat internasional bukanlah pihak yang buta terhadap situasi
politik di Indonesia. Bila darurat militer diberlakukan, dunia akan segera
bereaksi keras. Apalagi jika suara rakyat dibungkam dan ruang demokrasi semakin
dipersempit. Reaksi itu tidak hanya berupa kritik moral, tetapi juga tekanan
ekonomi dan diplomatik. Indonesia bisa kehilangan simpati sekaligus legitimasi
di forum global.
Dampaknya akan jauh lebih serius daripada sekadar sorotan media.
Investor asing akan ragu menanamkan modal bila stabilitas politik tidak
terjamin. Kepercayaan yang sudah terbangun akan runtuh dalam sekejap. Padahal
kepercayaan adalah mata uang utama dalam perekonomian global. Tanpa itu,
Indonesia berisiko kembali dilihat sebagai negara yang gagal belajar dari
sejarahnya sendiri.
Prabowo harus menjawab satu pertanyaan besar: apakah ia ingin dikenang
sebagai pemimpin yang jatuh di tikungan terakhir? Atau ia akan dikenang sebagai
pemimpin yang berani mengambil risiko demi rakyatnya? Jalan represif mungkin
terasa lebih mudah di jangka pendek. Namun, itu justru menimbulkan luka panjang
bagi demokrasi dan bangsa. Hanya keberanian menolak tekanan oligarki yang bisa
menjaga marwah kepemimpinannya.
Sejarah akan menulis pilihan seorang pemimpin dengan tinta yang tidak
bisa dihapus. Prabowo punya kesempatan untuk membuktikan bahwa ia berbeda dari
presiden-presiden yang terjebak pada godaan kekuasaan. Dunia akan menghormati
pemimpin yang mampu mengutamakan rakyat dibanding kepentingan segelintir elite.
Jika ia berhasil, Indonesia bukan hanya diperhitungkan, tetapi juga dihormati.
Namun bila gagal, generasi mendatang hanya akan mengingatnya sebagai presiden
yang menyia-nyiakan peluang emas.
Kontributor
Akang Marta Indramayutradisi