Ads

Antara Warisan Jokowi, Beban Prabowo, dan Tuntutan Rakyat (Bagian 5)

 

DPR dan Politik yang Terlalu Jauh dari Rakyat



Rakyat kini sudah tidak lagi bodoh, mereka paham betul posisi DPR sebagai lembaga legislatif. Mereka tahu tugas utama DPR adalah membuat undang-undang, bukan sekadar menumpuk fasilitas untuk kepentingan pribadi. Pengetahuan rakyat tentang perbedaan fungsi DPD dan DPR semakin terbuka dan kritis. Mereka bisa menilai mana kerja serius untuk kepentingan bangsa dan mana yang sekadar drama politik murahan. Itulah sebabnya, ketika DPR berulah, reaksi rakyat kini jauh lebih cepat dan tegas.

Rakyat Indonesia tidak lagi mudah diintimidasi dengan stigma usang seperti “provokator” atau “penumpang gelap.” Mereka berani menyuarakan aspirasi secara terbuka tanpa takut pada label yang sengaja ditempelkan untuk membungkam kritik. Perubahan zaman dan derasnya arus informasi membuat rakyat semakin kritis. Mereka bisa memilah fakta dari manipulasi dan propaganda politik. Inilah tanda bahwa demokrasi sejati sedang tumbuh dari akar kesadaran masyarakat.

Ketika seorang anggota DPR seperti Ahmad Sahroni mengeluarkan pernyataan pongah bahwa rakyat ingin membubarkan DPR, justru hal itu menambah bensin ke api. Kata-kata seperti itu hanya membuat rakyat merasa dilecehkan dan diremehkan. Bagi masyarakat, ucapan pejabat publik adalah cerminan dari sikap dan mentalitas kekuasaan. Setiap kali muncul pernyataan yang arogan, rakyat akan semakin yakin bahwa DPR semakin jauh dari mereka. Alih-alih membangun kedekatan, pernyataan tersebut justru memperdalam jurang antara rakyat dan wakilnya.

Politisi boleh saja berkilah dengan alasan retorika atau salah tafsir, tetapi kata-kata yang sudah terucap tidak bisa ditarik kembali. Rakyat tidak melupakan ucapan yang menyakiti hati mereka. Media sosial menjadi ruang arsip kolektif yang selalu mengingatkan publik pada sikap pejabat. Maka, setiap kesalahan ucapan akan terus diulang dan diperbincangkan sebagai bentuk kritik. Inilah konsekuensi dari dunia politik yang semakin transparan di hadapan masyarakat.

Pada akhirnya, rakyat akan menuntut pertanggungjawaban moral dari para wakil yang dipilih dengan suara mereka sendiri. DPR seharusnya menjadi cermin kehormatan demokrasi, bukan sekadar panggung sandiwara kepentingan. Jika wakil rakyat terus mengabaikan suara rakyat, jarak itu akan semakin melebar dan berpotensi memicu krisis kepercayaan. Kesadaran politik rakyat yang semakin matang adalah alarm keras bagi para politisi. Dan bila alarm itu terus diabaikan, legitimasi DPR akan runtuh oleh tangan rakyat yang kecewa.

Kontributor

Akang Marta Indramayutradisi

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel