Antara Warisan Jokowi, Beban Prabowo, dan Tuntutan Rakyat (Bagian 6)
Kemarahan Rakyat: Logis atau
Tidak Logis?
Ada yang berkata: “Marah boleh, tapi jangan anarkis.” Namun pertanyaan
yang layak diajukan adalah: sejak kapan orang marah bisa seratus persen logis?
Marah selalu hadir sebagai letupan emosi yang sulit dikendalikan secara penuh.
Bahkan seorang pemimpin sekaliber Prabowo pun pernah menunjukkan bahwa
kemarahan bisa membuat orang bertindak impulsif. Karena itu, jangan tergesa-gesa
menyalahkan rakyat yang marah.
Kemarahan rakyat sesungguhnya bukanlah suatu penyebab utama, melainkan
akibat dari serangkaian persoalan. Ia lahir dari keputusan politik yang
dianggap tidak adil dan menyingkirkan kepentingan masyarakat. Ia tumbuh dari
efisiensi ekonomi yang justru menciptakan kesengsaraan baru. Ia dipicu oleh
pejabat yang pongah, merasa jauh dari rakyat, dan hanya mementingkan dirinya
sendiri. Bahkan, DPR yang insensitif turut memperkuat bara kemarahan itu.
Maka menjadi keliru jika pemerintah hanya sibuk mencari cara meredam
demonstrasi dengan pengerahan aparat. Tindakan itu tidak lebih dari menutup
luka dengan plester, tanpa pernah menyembuhkan akar penyakitnya. Selama
penyebab utama kemarahan tidak diatasi, api itu akan terus berkobar. Rakyat
bisa saja diam sementara, tetapi kekecewaan mereka akan mengendap. Dan ketika
saatnya tiba, amarah itu bisa kembali meledak lebih besar.
Dalam kehidupan sosial, kemarahan rakyat adalah bentuk komunikasi
politik yang paling keras. Ia bukan sekadar teriakan, melainkan tanda adanya
ketidakadilan yang nyata. Mengabaikan sinyal ini sama saja dengan menumpuk bara
di bawah abu. Pemerintah yang bijak seharusnya membaca amarah rakyat sebagai
peringatan, bukan ancaman. Dari situlah jalan dialog, koreksi kebijakan, dan
pemulihan kepercayaan harus dimulai.
Pada akhirnya, pertanyaan logis atau tidak logis bukanlah inti dari
persoalan. Kemarahan tidak pernah murni rasional, tetapi juga tidak sepenuhnya
tanpa alasan. Justru di balik kemarahan rakyat, selalu ada cerita panjang
tentang luka, kekecewaan, dan harapan yang dikhianati. Maka yang dibutuhkan
bukan sekadar meredam, tetapi mengurai akar masalahnya. Sebab hanya dengan
keadilan, kemarahan rakyat bisa menemukan titik akhirnya.
Kontributor
Akang Marta Indramayutradisi