Benteng Terakhir Demokrasi
Benteng
Terakhir Demokrasi
Pers harus berdiri sebagai benteng terakhir bagi keadilan. Kita tidak boleh
tinggal diam ketika nyawa rakyat dianggap sekadar angka tanpa makna. Kita tidak
boleh tunduk ketika kebenaran sengaja dikaburkan demi melindungi kepentingan
tertentu. Kita tidak boleh pasrah ketika demokrasi hanya dijadikan panggung
sandiwara yang menguntungkan segelintir elit. Sembilan nama korban itu adalah
simbol nyata bahwa republik ini membutuhkan perbaikan mendasar.
Mereka yang gugur bukanlah korban kebetulan, melainkan korban dari sebuah
sistem yang cacat. Sistem ini gagal melindungi rakyat dan justru menciptakan
ruang bagi ketidakadilan untuk terus hidup. Tidak ada yang lebih tragis
daripada negara yang membiarkan warganya mati tanpa pertanggungjawaban. Inilah
mengapa suara rakyat menjadi senjata terakhir untuk menuntut perubahan. Hanya
dengan bersuara, sistem yang cacat itu bisa diperbaiki secara mendasar.
Pertanyaan terbesar yang harus kita renungkan bukanlah siapa dalang
kerusuhan. Pertanyaan terbesar adalah apakah negara ini masih berpihak pada
rakyatnya atau tidak. Apakah aparat yang bersenjata melindungi rakyat atau
justru menakut-nakuti mereka. Apakah para elit politik peduli pada penderitaan
rakyat atau hanya sibuk mengamankan kursi dan tunjangan. Jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan itu akan menentukan hidup atau matinya demokrasi kita.
Oleh sebab itu, rakyat tidak boleh berhenti bersuara. Tragedi 25 Agustus tidak
boleh dibiarkan terkubur dalam kabut retorika yang menyesatkan. Nama-nama
korban harus selalu diingat sebagai penanda bahwa keadilan belum ditegakkan.
Kebenaran harus digaungkan meski kekuasaan berusaha menutupinya dengan berbagai
dalih. Karena demokrasi sejati hanya hidup jika rakyatnya tidak dikorbankan
begitu saja.
Demokrasi bukan sekadar soal kursi kekuasaan, melainkan tentang kedaulatan
rakyat. Kedaulatan rakyat hanya bisa tegak jika nyawa mereka tidak dipandang
murah. Negara harus menjamin bahwa setiap warganya berharga dan dilindungi
sepenuhnya. Jika tidak, maka demokrasi hanya akan tinggal nama, tanpa roh dan
tanpa makna. Dan itulah alasan mengapa opini publik harus terus menjadi benteng
terakhir bagi tegaknya keadilan.
Kontributor
Akang Marta Indramatradisi.