Ads

Naskah Sunda Kuno Cermin dan Literasi Nusantara

Naskah Sunda Kuno: Cermin Kekayaan Intelektual dan Kearifan Literasi Nusantara

Ditulis oleh: Akang Marta 



Pembicaraan tentang Sunda Kuno sering terhenti pada jumlah naskah yang sangat terbatas, tidak lebih dari seratusan dokumen. Namun, di balik jumlah yang kecil itu, terdapat kekayaan yang luar biasa. Ketika ditelaah lebih jauh, naskah-naskah tersebut mencakup berbagai genre, mulai dari puisi epik, karya moral, risalah keagamaan, hingga manual praktis yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Artinya, masyarakat Sunda pada abad ke-14 hingga ke-15 bukan hanya mewariskan catatan singkat, tetapi juga suatu kebudayaan literasi yang lengkap dengan ragam bentuk dan isi. Hal ini menunjukkan bahwa leluhur Sunda telah mengekspresikan pemikiran, keyakinan, dan tata kehidupannya secara tertulis, sama berartinya dengan tradisi literasi bangsa lain di dunia.

Salah satu yang menarik dari naskah Sunda Kuno adalah keragaman genre sastra. Kita bisa menemukan puisi yang tidak sekadar indah, melainkan juga didaktik, sarat dengan ajaran moral. Ada pula karya epik yang menggambarkan tokoh-tokoh tertentu dengan alur yang menghibur sekaligus mendidik. Hal ini mengingatkan kita bahwa puisi dan sastra di masa lalu bukan sekadar hiburan, tetapi bagian penting dari pendidikan masyarakat. Dengan menyenandungkan puisi, nilai-nilai dapat ditanamkan, dan pengetahuan dapat diwariskan lintas generasi.

Selain itu, naskah Sunda Kuno juga berisi risalah keagamaan. Di sini, kita bisa melihat dua wajah sekaligus: ajaran yang bersifat ritual praktis, dan ajaran yang lebih spekulatif, metafisik, bahkan filosofis. Ada teks yang digunakan sebagai panduan doa atau upacara, tetapi ada pula teks yang berdebat tentang hakikat kehidupan, kosmologi, dan mistisisme. Dengan demikian, orang Sunda Kuno tidak hanya beragama secara ritual, tetapi juga secara intelektual, dengan cara merenungkan makna yang lebih dalam dari keyakinan mereka. Inilah bukti bahwa filsafat lokal Nusantara sebenarnya hidup dan berkembang sejak lama, hanya saja sering terabaikan dalam kajian arus utama sejarah.

Menariknya lagi, tidak semua teks berhubungan langsung dengan agama atau filsafat. Ada juga naskah yang bersifat praktis, semacam manual kehidupan. Misalnya, cara membangun perumahan, membuka permukiman baru, atau membaca tanda-tanda langit untuk mempersiapkan diri menghadapi perang. Naskah seperti ini menunjukkan bahwa literasi Sunda Kuno benar-benar terhubung dengan kehidupan nyata. Mereka menuliskan apa yang mereka anggap penting untuk keberlangsungan hidup masyarakat, baik secara material maupun spiritual.

Dari sisi fungsi, jelas bahwa teks-teks ini tidak diciptakan dalam ruang kosong. Sebagian ditujukan untuk masyarakat umum, sebagian lain untuk guru atau agamawan, bahkan ada yang khusus untuk pemimpin politik. Perbedaan itu menunjukkan bahwa literasi Sunda Kuno sudah memiliki lapisan audiens yang beragam. Ajaran untuk orang awam tentu berbeda dengan ajaran yang hanya boleh dipahami kalangan terpelajar atau spiritual. Hal ini menandakan bahwa masyarakat saat itu sudah memahami stratifikasi pengetahuan: ada yang terbuka untuk semua orang, ada pula yang bersifat khusus. Dengan kata lain, naskah Sunda Kuno bukan hanya teks, tetapi juga sistem pendidikan dan kontrol sosial.

Konteks sejarah juga memperkaya makna dari teks-teks tersebut. Sebagian besar manuskrip Sunda Kuno lahir pada abad ke-14 hingga ke-15, tepat ketika Islam mulai masuk ke Nusantara. Menariknya, naskah-naskah awal tidak menunjukkan adanya pengaruh Islam. Tidak ada satu pun kosakata Arab yang muncul. Baru pada periode kemudian, pengaruh Islam mulai terlihat. Bahkan, percampurannya berlangsung unik. Dalam salah satu teks yang sebenarnya bercorak Hindu-Siwa, tiba-tiba muncul penyebutan “Makkah” dan “surga”. Kata-kata ini tidak sekadar dimasukkan, melainkan dipadukan ke dalam kosmologi Hindu. Surga orang Islam dibayangkan berada di “buana Makkah” di langit, berdampingan dengan surga dalam tradisi Hindu.

Fenomena ini memperlihatkan betapa lenturnya cara pandang leluhur Sunda dalam menghadapi perbedaan. Alih-alih menolak atau menegasikan keyakinan baru, mereka mencoba mengintegrasikan unsur-unsur tersebut ke dalam kerangka kosmologi yang sudah ada. Proses sinkretisme semacam ini seharusnya bisa menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat modern yang sering kali terjebak pada polarisasi agama atau budaya. Dari Sunda Kuno, kita belajar bahwa keberagaman bisa dirangkai menjadi harmoni melalui bahasa, imajinasi, dan teks.

Tulisan tentang keberadaan naskah-naskah Sunda Kuno seharusnya diarahkan pada dua kesadaran utama. Pertama, bahwa naskah ini adalah warisan intelektual yang sangat berharga. Kita tidak hanya mewarisi candi, batik, atau gamelan, tetapi juga teks tertulis yang menjadi bukti nyata adanya tradisi berpikir dan menulis di Nusantara. Kedua, bahwa naskah ini rentan hilang jika tidak dijaga dengan baik. Banyak di antaranya sudah rapuh, sulit dibaca, atau hanya tersimpan di rak-rak perpustakaan yang jarang dijamah publik. Padahal, di dalamnya terdapat harta karun pengetahuan yang bisa membentuk identitas bangsa.

Untuk itu, penting bagi publik untuk mendukung upaya pelestarian dan penelitian. Tidak hanya lewat akademisi, tetapi juga lewat keterlibatan masyarakat luas. Digitalisasi, misalnya, bisa membuka jalan agar teks-teks kuno dapat diakses dengan lebih mudah. Bayangkan jika setiap pelajar atau mahasiswa bisa membaca langsung terjemahan teks Sunda Kuno di ponsel mereka. Tentu saja hal ini akan memperluas minat dan apresiasi terhadap literasi klasik. Dengan cara itu, naskah Sunda Kuno tidak lagi hanya menjadi bahan riset para filolog, tetapi juga sumber inspirasi masyarakat luas.

Di era modern, tantangan yang kita hadapi adalah bagaimana menjembatani jarak antara naskah kuno dan kehidupan sekarang. Sebab, meskipun bahasanya sulit dipahami dan konteksnya jauh berbeda, nilai yang terkandung di dalamnya tetap relevan. Ajaran moral tentang kesederhanaan, kehormatan, dan keseimbangan masih sangat dibutuhkan dalam menghadapi krisis etika di zaman ini. Panduan tentang membaca alam juga bisa dihubungkan dengan kesadaran ekologi modern, ketika manusia harus kembali belajar hidup selaras dengan lingkungan. Bahkan, teks-teks mistik Sunda Kuno bisa dilihat sebagai refleksi spiritual yang memberi kedalaman dalam menghadapi kehidupan yang semakin materialistis.

Dengan demikian, publik harus memahami bahwa naskah Sunda Kuno bukan sekadar artefak mati. Ia adalah cermin, yang memantulkan wajah leluhur kita sekaligus memberi arah bagi masa depan. Di tengah derasnya arus globalisasi, ketika identitas sering kabur oleh budaya luar, mempelajari naskah kuno adalah cara untuk kembali menemukan akar. Akar inilah yang membuat bangsa tetap kokoh, meski diterpa badai perubahan zaman.

Pada akhirnya, isi seratusan teks Sunda Kuno memberi kita pesan yang sederhana namun kuat: bahwa leluhur bangsa ini bukanlah masyarakat yang statis, melainkan dinamis, kreatif, dan terbuka. Mereka menulis tentang perang dan perdamaian, tentang rumah dan kosmos, tentang manusia dan Tuhan. Mereka berdebat, bersenandung, dan berdoa lewat kata-kata. Semua itu membuktikan bahwa literasi adalah bagian dari denyut kehidupan Nusantara sejak lama. Kini, tinggal bagaimana kita, generasi penerus, mau mendengarkan suara-suara itu, atau justru membiarkannya terkubur dalam debu sejarah.

 


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel