Memahami Warugan Lemah sebagai Jembatan Sains dan Budaya
Etika Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal: Memahami Warugan Lemah sebagai Jembatan Sains dan Budaya
Ditulis oleh: Akang Marta
Tulisan tentang Warugan Lemah sebagai sebuah bentuk “feng shui”
Sunda Kuno membuka ruang refleksi yang menarik bagi kita semua. Teks pendek
yang hanya terdiri dari tiga lembar ini ternyata menyimpan pengetahuan mendalam
mengenai hubungan manusia dengan tanah tempat ia berpijak. Di dalamnya,
tersirat panduan bagaimana sebaiknya manusia menempati alam dengan bijak,
berdasarkan kontur dan arah kemiringan tanah. Walau bahasanya penuh simbol dan
metafora, makna yang tersimpan sesungguhnya berkaitan erat dengan keselamatan,
harmoni, serta kesinambungan hidup.
Jika dalam tradisi Cina kita mengenal feng shui, sebuah ilmu tata ruang
dan energi, maka di Tatar Sunda kita mendapati Warugan Lemah. Bedanya,
fokus utama Warugan Lemah bukan pada aliran energi yang bersifat
abstrak, melainkan pada kontur tanah yang nyata. Arah kemiringan tanah, apakah
menghadap utara, selatan, timur, atau barat, ditafsirkan memiliki pengaruh baik
dan buruk terhadap kehidupan manusia. Menariknya, orientasi tanah yang disebut talaga
hangsa—yakni tanah yang menurun ke utara—dianggap paling baik untuk dihuni.
Dalam naskah tersebut, pengaruh orientasi tanah digambarkan dengan
bahasa yang puitis. Misalnya, tanah ke utara mendatangkan kasih sayang orang
lain, tanah ke barat (banyu metu) kurang baik karena membawa kesusahan,
tanah ke timur (purba tapa) dikaitkan dengan kehilangan simpati, dan
tanah ke selatan (ambek pataka) dianggap paling buruk karena menyebabkan
orang lain menyakiti hati. Dari sisi modern, ungkapan ini terdengar jauh dari
bahasa geologi. Namun jika ditelaah lebih dalam, ada kemungkinan besar bahwa
bahasa simbolis itu menyamarkan pengetahuan empiris yang diperoleh dari
pengalaman panjang masyarakat dengan alam.
Sebuah penelitian ilmiah kontemporer dari Western Michigan University di
Bogor, Jawa Barat, menemukan fakta bahwa kemiringan tanah ke selatan memang
paling banyak menjadi titik rawan longsor. Dari 18 observasi longsor, mayoritas
terjadi di lereng menghadap selatan. Orientasi ke timur laut dan timur juga
menunjukkan kerentanan tinggi, sedangkan ke utara justru relatif aman. Data ini
seakan mengonfirmasi apa yang diwariskan Warugan Lemah. Jika dahulu
disebut tanah ke selatan membawa “petaka” bagi penghuninya, kini bahasa ilmiah
menjelaskannya dalam istilah kerentanan geologi.
Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar di ruang publik: apakah kita
selama ini terlalu meremehkan pengetahuan lokal yang diwariskan nenek moyang?
Mungkin saja apa yang kita anggap mitos sejatinya adalah hasil observasi
empiris yang dikemas dalam bahasa metaforis. Para leluhur, tanpa instrumen
sains modern, bisa jadi telah melakukan “riset” panjang dari generasi ke
generasi, merekam peristiwa alam, dan menyusunnya dalam bentuk manual sederhana
seperti Warugan Lemah. Sayangnya, ketika modernisasi datang, warisan itu
terputus, sehingga kita kehilangan kesinambungan pengetahuan yang sesungguhnya
bernilai.
Dari sudut pandang publik, Warugan Lemah memberi gambaran bahwa
manusia Sunda Kuno memiliki kesadaran ekologis tinggi. Sebelum membangun rumah
atau pemukiman, mereka mempertimbangkan faktor tanah, arah, serta potensi
risikonya. Mereka tidak asal mendirikan bangunan, melainkan terlebih dahulu
membaca tanda-tanda alam. Prinsip ini bisa menjadi refleksi penting bagi
masyarakat modern yang sering mengabaikan kontur tanah dan aspek ekologis demi
pembangunan cepat. Tak jarang, akibat dari pengabaian ini adalah bencana alam
yang merugikan banyak pihak.
Lebih jauh, Warugan Lemah juga memperlihatkan adanya keseimbangan
antara ilmu praktis dan dimensi spiritual. Jika suatu orientasi tanah dianggap
buruk, teks tersebut tidak serta-merta melarangnya dihuni. Masih ada jalan
berupa ritual, mantra, atau ruwatan untuk menetralkan pengaruh buruk. Dari sisi
budaya, ini menunjukkan bahwa masyarakat Sunda Kuno percaya pada kemampuan
manusia untuk bernegosiasi dengan alam semesta. Harmoni tidak semata ditentukan
oleh faktor fisik, tetapi juga oleh usaha manusia menjaga hubungan baik dengan
kekuatan gaib yang diyakini mendiami alam.
Tulisan hari ini dapat menafsirkan bahwa ritual-ritual tersebut
sejatinya merupakan bentuk rekonsiliasi. Bukan sekadar kepercayaan irasional,
melainkan cara masyarakat membangun sikap penuh hormat pada alam. Setiap
tebing, aliran sungai, dan lereng dianggap memiliki “penghuni” yang harus
diperlakukan dengan bijaksana. Dengan demikian, pembangunan tidak hanya menjadi
urusan teknis, tetapi juga etis. Pandangan ini bisa mengajarkan generasi modern
bahwa membangun berarti juga merawat, menghormati, dan menjaga keseimbangan
ekologis.
Di era modern, ketika ilmu geologi, arsitektur, dan perencanaan tata
kota berkembang pesat, warisan seperti Warugan Lemah tetap relevan. Ia
mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan sejati sering kali lahir dari pengalaman
empiris masyarakat dengan lingkungannya. Fakta bahwa orientasi tanah ke selatan
terbukti rawan longsor menunjukkan adanya irisan antara sains modern dengan
kebijaksanaan lokal. Ini seharusnya menggerakkan opini publik untuk lebih
menghargai kearifan tradisional, bukan sekadar menjadikannya cerita folklor
yang romantis.
Publik juga dapat melihat bahwa Warugan Lemah adalah bukti nyata
bahwa pengetahuan lokal tidak statis. Ia bisa dipertemukan dengan sains modern
untuk menghasilkan pemahaman lebih komprehensif tentang lingkungan. Misalnya,
data geologi tentang kerentanan tanah bisa dipadukan dengan kosmologi Sunda
untuk membuat perencanaan tata ruang yang lebih sensitif terhadap budaya lokal.
Dengan cara ini, pembangunan tidak hanya berbasis data ilmiah, tetapi juga
berakar pada nilai-nilai budaya yang memberi identitas.
Lebih dari itu, Warugan Lemah juga dapat dibaca sebagai teks
sosial. Ketika disebut bahwa tanah menghadap utara membawa “kasih sayang”, hal
itu mungkin tidak hanya terkait dengan kondisi geologis, tetapi juga simbol
arah kehidupan yang dianggap baik. Bahasa kasih sayang, simpati, dan kesusahan
mencerminkan bahwa orientasi tanah diyakini dapat memengaruhi relasi sosial
penghuninya. Dari sudut pandang publik, ini menegaskan bahwa masyarakat Sunda
Kuno memahami keterhubungan antara ruang fisik dengan kehidupan sosial. Tempat
tinggal yang baik bukan hanya aman secara fisik, tetapi juga mampu menciptakan
harmoni antarwarga.
Dalam konteks modern, gagasan ini bisa dihidupkan kembali dengan cara
membangun lingkungan yang tidak hanya aman dari bencana, tetapi juga ramah
sosial. Kawasan hunian sebaiknya dirancang tidak semata berdasarkan efisiensi
ruang, melainkan juga mempertimbangkan kualitas relasi antarmanusia dan
keterhubungan dengan alam. Inilah yang sebenarnya sudah diantisipasi dalam Warugan
Lemah melalui bahasa simbolisnya.
Tulisan ini akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa Warugan Lemah
bukan sekadar catatan kuno yang bisa dilupakan. Ia adalah pintu masuk untuk
memahami bagaimana leluhur Sunda membaca alam dengan caranya sendiri, lalu
menerjemahkannya ke dalam panduan praktis yang masih relevan hingga kini.
Warisan ini menantang kita untuk tidak lagi memandang kebudayaan tradisional
sebagai sesuatu yang kolot atau mistis semata. Justru sebaliknya, ia adalah
sumber pengetahuan alternatif yang bisa melengkapi sains modern dalam
menghadapi tantangan ekologis, sosial, dan budaya.
Dengan membaca kembali Warugan Lemah, publik dapat belajar bahwa
harmoni hidup terletak pada kesediaan manusia membaca tanda-tanda alam,
menghormati kekuatan yang ada di sekelilingnya, dan membangun dengan penuh
kesadaran. Inilah pesan penting dari leluhur: bahwa tanah bukan sekadar
pijakan, tetapi juga guru yang selalu memberi petunjuk bagi manusia yang mau
mendengarkan.