Gas Air Mata dan Luka di Kampus
Gas Air
Mata dan Luka di Kampus
Mari kita berbicara tentang aparat dan tragedi yang terjadi di Bandung.
Peristiwa itu menjadi cermin betapa keamanan bisa berubah menjadi teror bagi
rakyatnya sendiri. Rombongan patroli TNI-Polri dilempari molotov, namun
pembalasan yang dipilih adalah menembakkan gas air mata. Ironisnya, gas itu
jatuh ke dalam kampus, ruang yang seharusnya menjadi tempat aman bagi
mahasiswa, dosen, pekerja, dan pos medis. Akibatnya, Sumari, seorang pria
berusia 60 tahun, kehilangan nyawanya.
Kematian Sumari bukan sekadar angka dalam laporan resmi. Ia adalah warga
sipil yang seharusnya dilindungi, bukan dikorbankan. Pertanyaannya sederhana:
apakah nyawa manusia bisa dibenarkan hilang hanya demi alasan “pengamanan”? Jawabannya
jelas: tidak. Sama sekali tidak, karena tugas aparat adalah menjaga, bukan
mengancam kehidupan rakyat.
Lebih parah lagi, alasan yang disampaikan adalah “angin berubah arah.” Dalih
ini seketika runtuh ketika data meteorologi menunjukkan kecepatan angin hanya
2–3 knot dengan arah southwest, mustahil cukup membawa gas ke dalam gedung.
Fakta ilmiah ini tidak bisa dibantah. Maka jelas, gas air mata memang
ditembakkan ke kampus, bukan terbawa angin. Kebenaran itu tercatat dalam video,
saksi, dan data fisika.
Publik berhak bertanya: jika aparat bertugas melindungi, mengapa tindakan
itu justru merenggut nyawa? Apakah prosedur pengamanan memang harus
mengorbankan rakyat? Ataukah prosedur itu sendiri sudah usang dan berbahaya?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak boleh diabaikan. Karena ketika hukum dijalankan
tanpa nurani, keadilan berubah menjadi kekerasan.
Tragedi di Bandung mengajarkan kita bahwa dalih teknis tidak bisa lagi
menjadi tameng bagi kesalahan fatal. Rakyat sudah terlalu cerdas untuk percaya
pada retorika kosong tentang “angin” atau “protokol.” Yang dibutuhkan adalah
keberanian aparat untuk mengakui kesalahan dan komitmen negara untuk mencegah
tragedi serupa. Nyawa Sumari adalah pengingat bahwa perlindungan rakyat tidak
boleh dinegosiasikan. Dan setiap tetes gas air mata yang jatuh di tanah kampus
adalah noda dalam sejarah republik ini.
Kontributor
Akang Marta Indramatradisi.