Cheng Ho Sebagai Laksamana: Membuka Jalur Maritim dan Mencari Kaisar yang Hilang
Misi Agung: Membuka Jalur Maritim dan Mencari
Kaisar yang Hilang
Kaisar Yongle memiliki
keyakinan bahwa kebesaran Dinasti Ming perlu diketahui oleh dunia. Ia
berkeinginan untuk membuka jalur perdagangan maritim, terutama untuk mengekspor
produk unggulan Tiongkok seperti porselen. Namun, terdapat alasan lain yang
lebih personal di balik ambisi maritim Kaisar Yongle. Ia memiliki kecurigaan
bahwa keponakannya, Kaisar Jianwen, yang dikalahkannya dalam pemberontakan,
tidak benar-benar meninggal, melainkan melarikan diri ke negara lain. Obsesi
untuk menemukan keberadaan Kaisar Jianwen menjadi salah satu pendorong utama
Kaisar Yongle untuk menginisiasi serangkaian ekspedisi ke berbagai belahan
dunia.
Untuk memimpin ekspedisi besar
ini, Kaisar Yongle memilih Cheng Ho sebagai laksamana. Armada raksasa pun
dipersiapkan, terdiri dari sekitar 27.000 awak kapal dan 317 kapal laut dengan
berbagai bentuk dan fungsi, mulai dari kapal dengan tiga layar hingga sembilan
layar. Sejak saat itu, Cheng Ho dikenal sebagai seorang laksamana yang memimpin
ekspedisi maritim terbesar pada masanya.
Ekspedisi pertama Cheng Ho dan
armadanya berangkat dari Nanjing pada tanggal 11 Juli 1405. Pelayaran dengan
misi diplomatis ini menuju ke wilayah Asia Tenggara, termasuk Vietnam, Jawa,
Palembang, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sumatera (Aceh), Sri Lanka, hingga
India. Dalam catatan sejarah, diketahui bahwa selama ekspedisi ini, Cheng Ho
dan para awaknya juga sering berdakwah dan menyebarkan agama Islam di sepanjang
perjalanan. Ulama besar Indonesia, Buya Hamka, pernah menulis pada tahun 1961
bahwa perkembangan Islam di Indonesia dan Malaysia memiliki kaitan erat dengan
Laksamana Cheng Ho.
Ketika mengunjungi sebuah kota
atau negara, Cheng Ho selalu datang dengan membawa hadiah atau oleh-oleh untuk
para raja atau pemimpin setempat. Barang-barang tersebut tidak hanya berupa
komoditas dagang seperti emas, makanan, porselen, dan perunggu, tetapi juga
pengetahuan di bidang pertanian, perdagangan, dan ajaran Islam. Ketika
mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai, misalnya, ia memberikan sebuah lonceng yang
dinamakan Cakra Donya yang kini menjadi salah satu simbol penting bagi
Kesultanan Aceh. Saat mengunjungi Cirebon, ia juga memberikan barang-barang
keramik Tiongkok kepada Sultan Cirebon di Kesultanan Kasepuhan.
Meskipun perjalanannya berat
dan penuh tantangan, Cheng Ho selalu berusaha untuk menjalankan misinya dengan
damai. Namun, ada kalanya konfrontasi dan pertempuran tidak terhindarkan. Salah
satu contohnya adalah ketika Cheng Ho menghadapi bajak laut Chen Zuyi (陳祖義) di
Palembang. Chen Zuyi, seorang muslim Tionghoa yang sebelumnya berada di bawah
kekuasaan Majapahit dan Sriwijaya, dilaporkan kepada Cheng Ho karena aktivitas
perompakannya yang meresahkan perdagangan di Selat Malaka selama
bertahun-tahun.
Awalnya, Cheng Ho berusaha
menyelesaikan masalah ini melalui negosiasi. Namun, ia menerima informasi bahwa
Chen Zuyi berencana untuk menyerang armadanya. Akibatnya, terjadilah
pertempuran laut yang sengit di Palembang pada tahun 1407. Pertempuran antara
pasukan Cheng Ho dan bajak laut Chen Zuyi berlangsung sengit, namun kemenangan
akhirnya diraih oleh pihak Cheng Ho. Setidaknya 5.000 bajak laut tewas, 10
kapal bajak laut hancur, dan pasukan Cheng Ho berhasil merebut tujuh kapal
bajak laut. Chen Zuyi dan dua pemimpin bajak laut lainnya ditangkap dan dibawa
kembali ke Dinasti Ming, di mana mereka dieksekusi mati pada tanggal 7 Oktober
1407.
Pada tahun 1415, dalam salah
satu perjalanannya, Cheng Ho mendarat di Muara Jati, Cirebon, dan memberikan
sejumlah oleh-oleh Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu warisan yang
ditinggalkannya adalah sebuah piring dengan ukiran ayat Kursi yang hingga kini
masih dijaga di Cirebon.
Selama pelayaran melintasi
Laut Jawa, salah satu awak kapal Cheng Ho bernama Wang Jinghong (王景弘)
mengalami sakit parah. Mereka kemudian tiba di sebuah pantai di Semarang yang
dikenal sebagai Pantai Simongan dan menetap di sana selama beberapa hari.
Beberapa peninggalan yang dikaitkan dengan peristiwa ini adalah Lenteng
Sampokong (三保公廟)
atau Gedung Batu dan patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang. Nama
"Sampokong" sendiri merujuk kepada salah satu sebutan untuk Cheng Ho,
yaitu San Bao (三寶),
atau Tiga Pusaka.
Pada tahun 1433, dalam
pelayarannya yang ketujuh, Cheng Ho menghembuskan napas terakhirnya setelah
menderita sakit di kota India. Ia meninggal di atas laut yang telah menjadi
rumahnya selama bertahun-tahun. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Nanjing,
Tiongkok.
Content Creator
Akang Marta (Indramayutradisi.com)