Mengurai Benang Merah Kekuatan Ormas dan Patriotisme di Balik Sosok Kontroversial
Mengurai Benang Merah Kekuatan Ormas dan Patriotisme di Balik Sosok Kontroversial (Mendolop Pemikiriannya Kang Muhaimin Syatibi)
Oleh Sumarta, S.Pd.I., M.Si
Peneliti dan Dosen IAI Pdk Indramayu
Perbincangan santai di sebuah kediaman di Indramayu baru-baru ini menghadirkan perspektif menarik tentang sosok Hercules Rosario Marshal, seorang tokoh publik yang namanya lekat dengan dunia "jalanan" dan organisasi massa (ormas). Haji Muhaimin Syatibi, seorang tokoh pemuda setengah tua asal Indramayu yang memiliki kedekatan personal dengan Hercules di masa lalu, berbagi sekilas pandangannya yang mungkin berbeda dari citra publik yang selama ini melekat pada sang "Raja Preman" itu.
Diskursus ini menjadi relevan di tengah hiruk pikuk dinamika ormas di Indonesia saat ini, terutama yang melibatkan perusahaan-perusahaan asing. Opini publik seringkali terpolarisasi dalam menyikapi fenomena ormas, antara pandangan negatif yang mengasosiasikannya dengan kekerasan dan kepentingan sempit, dan pandangan yang melihatnya sebagai wadah aspirasi dan kekuatan sosial. Kisah dan perspektif dari sosok seperti Haji Muhaimin dapat menjadi jendela untuk memahami dimensi lain dari individu-individu yang berada di balik label-label tersebut.
Salah satu poin menarik yang diungkapkan Haji Muhaimin adalah pengalamannya menyaksikan secara langsung luapan emosi nasionalisme Hercules pasca lepasnya Timor Timur dari pangkuan Ibu Pertiwi. Insiden "dardor" senjata di Indramayu pada tahun 1999, yang dilakukan Hercules sebagai bentuk kekecewaan mendalam terhadap kebijakan pemerintah saat itu, menjadi saksi bisu akan sentimen patriotik yang bergejolak dalam dirinya. Haji Muhaimin, yang berkesempatan bertemu Hercules keesokan harinya, merasakan kehangatan dan jiwa nasionalisme yang kuat terpancar dari tokoh tersebut.
Pengakuan ini tentu saja memberikan dimensi baru pada pemahaman kita tentang Hercules. Citra keras dan tegas yang selama ini mendominasi pemberitaan media seolah mendapatkan imbangan dari sisi emosional dan kecintaan terhadap bangsa. Kendati demikian, penting untuk dicatat bahwa ungkapan kekecewaan melalui tindakan "dardor" tetap merupakan sebuah tindakan yang berada di luar koridor hukum dan tidak dapat dibenarkan. Namun, narasi ini membuka ruang diskusi yang lebih nuanced tentang kompleksitas motivasi dan latar belakang seseorang.
Lebih lanjut, Haji Muhaimin juga menyoroti kemampuan Hercules dalam membangun jejaring dan solidaritas yang luar biasa. Fenomena rombongan Metro Mini dan kendaraan dalam jumlah ribuan yang hadir dalam hajatan keluarga Hercules di Indramayu menjadi bukti nyata akan pengaruh dan dukungan yang dimilikinya. Hal ini mengindikasikan adanya empati dan kedekatan dengan banyak orang, sebuah modal sosial yang tidak bisa diabaikan.
Tentu saja, perbincangan ini tidak serta merta menghapus catatan kontroversi yang mungkin melekat pada Hercules dan organisasi yang diasosiasikan dengannya. Namun, perspektif Haji Muhaimin mengajak kita untuk melihat lebih dalam, melampaui stereotip dan label yang seringkali menyederhanakan realitas yang kompleks. Sebagai bagian dari bangsa, setiap individu, termasuk Hercules, memiliki hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat, sebagaimana dijamin oleh undang-undang.
Pesan Haji Muhaimin sangat jelas: dalam menyikapi dinamika ormas, kita sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila dan norma-norma sosial harus menjunjung tinggi hak-hak tersebut. Apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran hukum, saluran hukum yang berlaku harus ditegakkan, tanpa adanya penghakiman sewenang-wenang antar sesama manusia.
Kisah pertemuan Haji Muhaimin dengan Hercules di masa lalu juga memberikan gambaran tentang relasi personal yang mungkin membentuk pandangan seseorang. Pertemuan di sebuah klinik bersalin saat kelahiran putra Hercules, Ferdinand, yang kini terjun ke dunia politik, menambah dimensi humanis pada sosok yang seringkali digambarkan penuh intimidasi.
Diskursus ini juga menyinggung tentang pentingnya membedakan antara hak berorganisasi dan potensi penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh anggota organisasi. Undang-undang menjamin hak untuk berserikat, namun setiap individu tetap bertanggung jawab atas tindakan dan perilakunya di hadapan hukum.
Menariknya, Haji Muhaimin juga memberikan pandangannya tentang tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang dikaguminya. Di tingkat lokal Indramayu, ia menyebut nama Pak Wahidi sebagai figur politisi yang kokoh dan K.H. Juhadi Muhammad sebagai pengusaha yang gigih dan bermanfaat bagi masyarakat. Di tingkat nasional, ia mengagumi sosok Gus Ipul (Saifullah Yusuf) sebagai intelektual, ulama, budayawan, dan politisi yang multitalenta. Penyebutan tokoh-tokoh NU ini menunjukkan latar belakang dan nilai-nilai yang dipegang oleh Haji Muhaimin, yang mungkin juga memengaruhi perspektifnya terhadap Hercules.
Ketidakhadiran nama-nama muassis NU dalam daftar tokoh yang dikagumi Haji Muhaimin dijelaskan dengan rasa cinta yang sama besarnya kepada seluruh pendiri organisasi tersebut, sehingga tidak ada satu nama pun yang ingin diunggulkan. Hal ini mencerminkan penghormatan yang mendalam terhadap sejarah dan fondasi NU.
Perbincangan kemudian bergeser ke gagasan Haji Muhaimin tentang Indramayu. Alih-alih berfantasi tentang transformasi radikal, ia memilih pendekatan yang lebih realistis dan regulatif. Baginya, mimpi tentang Indramayu yang maju dan sejahtera tentu boleh-boleh saja, namun realisasinya sangat bergantung pada regulasi dan upaya kolektif. Sebelum mimpi itu terwujud, "tidur" dalam artian perencanaan dan kerja keras yang matang adalah sebuah keharusan. Analogi dengan kewajiban salat yang bahkan lebih utama dari tidur dalam konteks spiritualitas Islam memberikan sentuhan filosofis pada pandangannya.
Sebagai penutup, Haji Muhaimin kembali menekankan pentingnya persatuan dan penegakan hukum dalam menyikapi dinamika ormas. Ia mengajak seluruh elemen bangsa untuk memahami hak-hak berorganisasi yang dilindungi undang-undang, namun juga tidak mentolerir segala bentuk penyimpangan yang melukai sesama manusia. Penyelesaian masalah harus mengedepankan jalur hukum, bukan penghakiman antarindividu.
Tulisan di atas dapat ditarik benang merah bahwa ormas dan tokoh-tokoh di dalamnya seringkali dipengaruhi oleh narasi-narasi tunggal dan pemberitaan yang sensasional. Perbincangan dengan Haji Muhaimin Syatibi memberikan perspektif yang lebih kaya dan kompleks, mengajak kita untuk melihat sisi lain dari individu-individu yang mungkin selama ini hanya kita kenal melalui lensa yang sempit. Kendati demikian, penting untuk tetap bersikap kritis dan objektif, serta menjunjung tinggi nilai-nilai hukum dan kemanusiaan dalam menyikapi fenomena ormas di Indonesia. Kisah "dardor" dan luapan nasionalisme Hercules, jejaring solidaritasnya, serta pandangan Haji Muhaimin tentangnya, menjadi catatan penting dalam memahami dinamika kekuatan ormas dan potensi patriotisme yang mungkin tersembunyi di balik citra yang kontroversial.