“Memasang Antena di Pohon”: Militansi, Adab, dan Struktur dalam Tradisi NU

 

“Memasang Antena di Pohon”: Militansi, Adab, dan Struktur dalam Tradisi NU




Di era pra-internet, ketika mengakses jaringan komunikasi bukan perkara mudah, kader-kader Nahdlatul Ulama (NU) telah menunjukkan militansi dan semangat pengabdian yang luar biasa. Di banyak wilayah, mereka menggunakan antena seadanya yang dipasang di atas pohon demi menangkap sinyal komunikasi. Aktivitas ini bukan sekadar solusi teknis atas keterbatasan infrastruktur; ia adalah simbol ketekunan, kreativitas, dan semangat tak kenal lelah dalam membangun jaringan perjuangan dan dakwah.

Kisah “memasang antena di pohon” merekam sebuah fase penting dalam dinamika kaderisasi NU. Saat itu, para aktivis muda bergerak dari desa ke desa, menyusuri jalan terjal, menjumpai tokoh-tokoh lokal, dan membina generasi baru. Komunikasi yang terbatas tidak menghalangi langkah mereka untuk menjaga kesinambungan gerakan. Yang menarik, semangat ini tidak pernah lepas dari nilai utama yang menjadi fondasi NU: adab.

Sebuah nasihat klasik yang disampaikan dalam sebuah diskusi internal menegaskan pentingnya nilai tersebut: “Kamu harus menghadap ketua NU dulu meskipun kamu lebih senior secara pengalaman.” Kalimat ini, yang mungkin terdengar sederhana, sebenarnya mengandung makna mendalam tentang tata krama struktural dalam tradisi NU. Ia menjadi pengingat bahwa dalam NU, struktur organisasi bukanlah sebatas formalitas administratif, melainkan ruang pembelajaran dan pembentukan karakter.

Etika seperti ini menjadi salah satu pembeda utama NU dibandingkan banyak organisasi lain. Di NU, “adab sebelum ilmu, struktur sebelum aksi” bukan hanya jargon kosong, tetapi prinsip tak tertulis yang diterapkan secara konsisten. Seseorang yang cerdas dan berpengalaman tetap diharapkan tunduk pada mekanisme organisasi, bukan karena kultus individu, tetapi karena penghormatan terhadap proses, sistem, dan marwah kolektif.

Tradisi ini menjadikan NU sebagai organisasi yang stabil di tengah dinamika sosial-politik Indonesia. Dalam banyak kasus, keputusan organisasi tidak selalu diambil berdasarkan suara terbanyak atau popularitas tokoh, tetapi melalui mekanisme musyawarah yang melibatkan berbagai jenjang struktural dan basis kultural. Hal ini memperkuat daya tahan NU sebagai rumah besar umat Islam Indonesia yang inklusif dan demokratis.

Namun, di tengah kemajuan teknologi dan pergeseran gaya komunikasi digital, nilai-nilai semacam ini menghadapi tantangan baru. Generasi muda yang tumbuh dalam budaya serba cepat dan instan kadang memandang struktur sebagai penghambat, bukan sebagai ruang pembelajaran. Di sinilah NU perlu terus merawat narasi-narasi sejarah seperti kisah “memasang antena di pohon” agar generasi baru tidak tercerabut dari akar.

Tradisi, struktur, dan adab bukan untuk membatasi kreativitas, tetapi menjadi fondasi kuat dalam membangun gerakan yang berumur panjang. NU adalah bukti nyata bahwa organisasi yang bertahan lama bukan hanya ditopang oleh ide besar, tetapi juga oleh etika kecil yang dijaga secara konsisten—mulai dari cara menyapa, hingga cara menghargai siapa yang lebih dulu mengabdi.

Di tengah hiruk-pikuk zaman digital, kisah-kisah semacam ini perlu terus dituturkan. Sebab darinya, kita belajar bahwa perjuangan bukan hanya soal hasil, tetapi juga tentang cara. Dan dalam NU, cara itu adalah adab dan militansi yang berjalan beriringan.

Content Creator

Akang Marta (Indramayutradisi.com)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel