Kaderisasi NU: Antara Idealita dan Realita di Akar Rumput
Kaderisasi NU: Antara Idealita dan Realita di Akar Rumput
Indramayutradisi.com: Tulisan ini hasil analisis dialog 2 kader NU Indramayu, yaitu Kang Yahya Anshori dan Kang Arif Kurniawan Hidayat dari Podcast https://www.youtube.com/@Indramayutradisi yang di akses pada 15 Mei 2025 dari https://youtu.be/r8pXPKHpC9Y?t=200 dengan tema PODCAST Kaderisasi dan Kompetensi Badan Otonom / Pengurus NU
"Keren sekali
sampean hari ini ya," sapaan pembuka yang sederhana namun akrab, mengawali
sebuah diskusi mendalam tentang seluk-beluk organisasi Islam terbesar di
Indonesia, Nahdlatul Ulama yang disampaikan kang Yahya Anshori kepada Kang Arif.
Percakapan antara dua kader NU dari generasi yang berbeda ini, yang terjalin
dalam suasana santai namun sarat makna, membuka tabir realitas kaderisasi dan
dinamika internal NU di tingkat akar rumput.
Pengalaman
perjumpaan di masa lalu, ketika salah satu narasumber (Yahya Anshori dan Arif
K. H.) masih aktif di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan berupaya
mencari kader hingga ke pelosok desa, menjadi penanda betapa pentingnya
regenerasi dalam organisasi ini. Namun, narasi "sampan lebih tua"
yang diselingi pengakuan bahwa "soal jadi pengurus NU kelihatannya saya
lebih dulu," menyiratkan adanya kompleksitas dalam hierarki dan pengalaman
berorganisasi di NU.
Semangat
mencari kader di awal-awal reformasi, bahkan sebelum era fiber optik
merajalela, menunjukkan dedikasi dan militansi para aktivis muda NU kala itu.
Pertemuan yang berujung pada permintaan untuk menghadap ketua NU setempat,
meski belum menjadi pengurus, adalah cerminan dari etika berorganisasi yang
dijunjung tinggi di NU. Sebuah pelajaran berharga tentang pentingnya
menghormati struktur dan hierarki yang ada.
Namun,
perjalanan kaderisasi tidak selalu mulus. Kegelisahan salah satu narasumber
yang pernah menjabat sebagai ketua Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU)
dan pengurus cabang, menguak adanya tantangan dalam implementasi kaderisasi
yang terstruktur. Pengalaman mengikuti berbagai jenjang kaderisasi di IPNU dan
Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), hingga Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU),
memunculkan pertanyaan tentang efektivitas dan relevansi materi yang
disampaikan.
Transformasi
nomenklatur kaderisasi di NU, dari MKNU menjadi Pendidikan Dasar Kader
Penggerak Nahdlatul Ulama (PD PKPNU) atau Pendidikan Guru Madrasah Kader
Nahdlatul Ulama (PGMKNU), adalah upaya untuk memperbarui dan menyesuaikan
dengan kebutuhan zaman. Tujuan ideal dari kaderisasi ini adalah untuk
memastikan bahwa kepengurusan NU di semua tingkatan diisi oleh kader-kader yang
terlatih dan memiliki pemahaman yang mendalam tentang organisasi. Sebuah
cita-cita luhur bahwa "tidak semua orang boleh menjadi pengurus NU, tapi
seluruh pengurus itu ke depan harus diisi oleh orang-orang yang sudah dilatih
lewat mesin kaderisasi yang berjenjang."
Diskursus
mengenai struktur organisasi NU, dengan adanya Mustasyar (penasihat), Syuriah
(pembuat kebijakan tertinggi), Tanfidziyah (pelaksana), lembaga, dan lajnah
(yang kini menjadi lembaga), memberikan gambaran betapa kompleks dan kaya
khazanah organisasi ini. Keberadaan badan otonom (Banom) yang memiliki otonomi
kepengurusan dan mekanisme kaderisasi sendiri, seperti IPNU, IPPNU, Ansor,
Fatayat NU, Muslimat NU, Pagar Nusa, dan lainnya, menunjukkan betapa NU
mengakomodasi berbagai kelompok usia, profesi, dan minat.
Namun,
di sinilah potensi terjadinya overlapping kaderisasi muncul.
Meskipun idealnya saling melengkapi, kenyataan di lapangan terkadang
menunjukkan adanya kerancuan. Kasus anggota yang merangkap jabatan di berbagai
Banom, bahkan di struktur Jam'iyah (organisasi induk), menjadi sorotan.
Fenomena "lu lagi, lu lagi" dalam kepengurusan mengindikasikan adanya
problem dalam regenerasi dan distribusi kader.
Pembatasan
usia dalam Banom seperti Ansor dan IPNU seharusnya menjadi garis demarkasi yang
jelas. Namun, praktik di lapangan terkadang menunjukkan adanya inkonsistensi,
seperti anak usia sekolah menengah yang justru aktif di Banser (lembaga
semi-otonom Ansor) alih-alih IPNU. Hal ini mengindikasikan adanya tantangan
dalam sosialisasi aturan organisasi hingga tingkat akar rumput.
Kurangnya
pemahaman pengurus di level daerah terkait aturan-aturan organisasi menjadi
salah satu akar masalah. Jika para pengurus tidak membaca dan memahami aturan,
bagaimana mereka dapat menyampaikannya kepada anggota dan masyarakat luas?
Harapan agar forum-forum NU seperti bahtsul masail dan lailatul ijtima' tidak hanya
membahas kitab kuning, tetapi juga mengulas aturan organisasi, menjadi sangat
relevan.
Pengalaman
salah satu narasumber yang merangkap berbagai jabatan, mulai dari Dewan Komite
IPNU, ketua Pagar Nusa kabupaten, pengurus Jami'yyatul Qurro' wal Huffadz
(JQH), hingga pengurus serikat buruh, memunculkan pertanyaan tentang etika dan
efektivitas rangkap jabatan. Meskipun dilandasi niat untuk khidmah (melayani), fenomena ini
berpotensi menghambat munculnya kader-kader baru dan membuat organisasi
terlihat stagnan. Prinsip "the right man on the right place" menjadi
krusial dalam penataan organisasi.
Diskusi
menarik juga menyentuh peran lembaga-lembaga di NU yang dianggap
"melampaui negara" karena cakupan bidang garapannya yang luas, mulai
dari dakwah, pendidikan, sosial, ekonomi, hingga pelestarian tradisi. Namun,
harapan agar lembaga-lembaga ini tidak hanya berkegiatan, tetapi juga mampu
menjawab persoalan-persoalan publik melalui program-program yang bersinergi
dengan negara, masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Stagnasi
kaderisasi dan implementasi kebijakan yang tidak optimal di tingkat bawah
menjadi kendala utama. Banyak kader potensial yang merasa tidak dilibatkan,
sementara struktural yang ada terkadang tidak mengakomodasi potensi kader yang
telah dididik. Persoalan politis di tingkat lokal juga dapat menghambat
penyerapan kader.
Pengalaman
salah satu narasumber yang aktif di berbagai Banom atas inisiatif sendiri,
tanpa harus "diajak," menjadi contoh ideal partisipasi aktif dalam
organisasi. Semangat untuk menghidupkan organisasi dan memberikan manfaat
seharusnya menjadi motor penggerak kader.
Isu
sensitif mengenai pandangan keliru terhadap Jami'yyah Ahlith Thoriqoh
al-Mu'tabaroh an-Nahdliyyah (JATMAN), sebuah Banom yang mewadahi pengamal
tarekat, juga mencuat. Adanya pengurus NU setempat yang justru menyesatkan
aktivis JATMAN karena perbedaan pemahaman amaliah, menunjukkan betapa
pentingnya pemahaman yang komprehensif tentang keberagaman dalam NU. Kurangnya
literasi pengurus NU di tingkat bawah mengenai Banom-Banom yang ada menjadi
salah satu penyebabnya.
Diskusi
ini menyadarkan kita betapa kaya dan kompleksnya dinamika organisasi NU.
Kaderisasi yang ideal seharusnya mampu mencetak kader yang tidak hanya memiliki
pemahaman keagamaan yang mendalam, tetapi juga pemahaman organisasi yang kuat.
Regenerasi kepemimpinan dan distribusi kader yang merata menjadi kunci
keberlangsungan dan efektivitas NU dalam menjawab tantangan zaman. Perlu adanya
upaya yang lebih sistematis dalam menyebarkan informasi terkait kebijakan dan
aturan organisasi hingga ke tingkat akar rumput, serta mendorong partisipasi
aktif seluruh kader dalam berbagai lini pengabdian. Semoga obrolan ini menjadi
pemantik bagi perbaikan dan kemajuan NU ke depan.
Penulis
Akang Marta (Indramayutradisi.com)