NU dan Tantangan Regenerasi: Antara Etos Khidmah dan Tuntutan Profesionalisme Organisasi

 

NU dan Tantangan Regenerasi: Antara Etos Khidmah dan Tuntutan Profesionalisme Organisasi


Regenerasi dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU) bukan sekadar proses mengganti yang tua dengan yang muda. Lebih dari itu, ia adalah upaya mewariskan nilai-nilai dasar NU—seperti keikhlasan, tawadhu, dan khidmah (pengabdian)—kepada generasi baru, sembari merespons tantangan zaman yang menuntut profesionalisme dan manajemen organisasi yang lebih modern.

NU, sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, memiliki sejarah panjang dalam membangun basis kaderisasi dari tingkat pelajar hingga dewasa. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), hingga Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menjadi ruang awal pembentukan watak dan nilai ke-NU-an. Namun dalam beberapa tahun terakhir, muncul keprihatinan terkait kesinambungan kaderisasi yang sering terjebak dalam rutinitas struktural tanpa menyentuh substansi pembinaan nilai dan kapasitas individu.

Di sisi lain, dinamika sosial-politik dan tuntutan zaman mendorong NU untuk semakin profesional. Tuntutan ini mencakup pengelolaan keuangan yang transparan, manajemen program berbasis data, tata kelola organisasi yang akuntabel, hingga kemampuan beradaptasi dengan teknologi informasi. Tantangannya, bagaimana profesionalisme ini tidak mereduksi semangat khidmah menjadi sekadar pekerjaan administratif yang kering dari nilai?

Inilah dilema regenerasi di tubuh NU: menjaga ruh pengabdian sembari meningkatkan kualitas tata kelola. Dalam banyak kasus, kader muda NU yang tumbuh dengan semangat khidmah sering kali tidak dibekali dengan keterampilan manajerial, digital, atau komunikasi publik yang memadai. Sebaliknya, kader yang punya kapasitas profesional sering dianggap terlalu “dingin” atau jauh dari tradisi pengabdian ala pesantren.

Penyelarasan antara etos khidmah dan profesionalisme menjadi pekerjaan rumah besar NU saat ini. Regenerasi bukan sekadar soal rekrutmen usia muda, tetapi bagaimana membentuk generasi yang mampu menyelaraskan nilai-nilai keikhlasan dan kerakyatan NU dengan tuntutan kapasitas institusional.

Beberapa inisiatif mulai tampak, seperti pelatihan kepemimpinan muda NU yang berbasis modul manajerial, kolaborasi dengan kampus-kampus untuk penguatan riset keislaman, serta pelibatan santri dan mahasiswa dalam pengelolaan lembaga-lembaga NU secara lebih profesional. Namun langkah ini masih perlu diperluas dan diinstitusionalisasi, agar tidak sekadar menjadi program insidental.

Ke depan, NU perlu memiliki sistem kaderisasi yang tidak hanya berbasis loyalitas, tetapi juga meritokrasi. Kepemimpinan dalam organisasi harus diberikan kepada mereka yang tidak hanya setia secara kultural, tetapi juga mumpuni secara teknis dan intelektual. Dengan begitu, regenerasi di tubuh NU tidak hanya berjalan, tetapi juga menciptakan sinergi antara akar tradisi dan tuntutan modernitas.

Di tengah zaman yang berubah cepat, NU ditantang untuk tetap menjadi mercusuar keumatan. Dan regenerasi adalah kunci agar cahaya itu tidak padam. Maka menjaga semangat khidmah sekaligus membangun profesionalisme bukanlah pilihan yang harus dipertentangkan, melainkan dua pilar yang harus dijalankan seiring—agar NU tetap kuat, relevan, dan mampu menjawab kebutuhan zaman.

Content Creator

Akang Marta (Indramayutradisi.com)

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel