Sandiwara Indramayu: Terjebak Antara Larisnya Lawakan dan Hilangnya Hakikat Cerita
Sandiwara Indramayu: Terjebak Antara
Larisnya Lawakan dan Hilangnya Hakikat Cerita
Sandiwara Indramayu, sebuah
permata seni pertunjukan tradisional yang digandrungi tak hanya di tanah
kelahirannya, tetapi juga di kalangan perantau, kini menghadapi dilema besar.
Popularitas yang melambung tinggi justru datang dengan harga yang mahal:
tergerusnya keseimbangan antara menjaga tradisi luhur dan godaan
komersialisasi. Kesenian yang seharusnya menjadi cerminan budaya dan pembawa
pesan moral kini terseret arus pasar, di mana "yang penting laku"
menjadi prioritas utama.
Salah satu keprihatinan utama adalah dominasi
fenomena "bodoran" atau lawakan dalam pementasan
sandiwara. Dahulu, segmen humor ini hanya berfungsi sebagai selingan atau
penutup, pemanis setelah inti cerita disampaikan. Namun, pemandangan yang kita
saksikan sekarang jauh berbeda. Bodoran kini dipaksakan di setiap sesi dan
segmen, bahkan mengesampingkan alur cerita utama. Ironisnya, porsinya bisa
mencapai 70% dari keseluruhan durasi pementasan. Ini bukan lagi selingan,
melainkan inti yang menggeser esensi.
Dampak dari pergeseran ini sungguh krusial: esensi
cerita menjadi hilang. Banyak pementasan yang tidak menuntaskan
narasinya hingga akhir, meninggalkan penonton dengan potongan-potongan kisah
yang terputus atau bahkan antiklimaks. Padahal, seni bercerita (telling
story) adalah metode yang sangat efektif untuk menyampaikan
nilai-nilai dan mengajarkan tentang kehidupan. Jika ceritanya tidak utuh,
bagaimana mungkin pesan-pesan moral, kepahlawanan, kesetiaan, dan kebijaksanaan
dapat tersampaikan dengan baik kepada generasi muda? Mereka kehilangan
kesempatan untuk menyerap pelajaran hidup melalui medium yang seharusnya sangat
kuat.
Ironisnya, para seniman pelawak yang kerap
membawakan bodoran ini seringkali tidak memiliki latar belakang pendidikan
formal di bidang seni atau etika pertunjukan. Mereka adalah talenta-talenta
alamiah yang mengandalkan bakat dan kemampuan improvisasi. Namun, dalam upaya
mendongkrak popularitas dan daya jual, mereka terkadang menggunakan kata-kata
atau perilaku yang tidak pantas—seperti istilah "kiri" atau
"tumpur"—yang seharusnya tidak dipublikasikan di ruang publik,
apalagi di media sosial yang dapat diakses oleh anak-anak usia sekolah dasar.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Seni
pertunjukan yang seharusnya menjadi cerminan kekayaan budaya lokal Indramayu,
kini justru berisiko diinterpretasikan sebagai seni yang kasar atau tidak
beretika. Stereotip "orang Indramayu itu kasar" bisa terbentuk karena
paparan konten semacam ini yang dengan mudah tersebar luas melalui media
digital. Ini bukan hanya masalah citra, melainkan ancaman terhadap identitas
budaya itu sendiri.
Untuk mengatasi permasalahan ini, peran
serta aktif dari berbagai pihak sangat diperlukan. Organisasi seni,
pemerintah daerah, dan terutama Dewan Kesenian Indramayu,
harus segera mengambil langkah konkret. Edukasi dan pembinaan etika
pertunjukan kepada para seniman menjadi sangat krusial. Ini bukan
berarti mengekang kreativitas, melainkan memberikan pemahaman mendalam tentang
batasan dan tanggung jawab moral dalam berkarya. Seni yang baik adalah seni
yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik, mencerminkan kearifan lokal,
dan membanggakan masyarakatnya. Ini adalah investasi jangka panjang untuk
menjaga martabat seni dan moralitas generasi mendatang di Indramayu.
Content Creator
Akang Marta (Indramayutradisi.com)