Seni Indramayu di Persimpangan Jalan: Kehilangan Tuntunan dalam Pusaran Tontonan

Seni Indramayu di Persimpangan Jalan: Kehilangan Tuntunan dalam Pusaran Tontonan



Seni, dalam peradaban manusia, selalu memiliki dwifungsi esensial: sebagai tontonan yang menghibur dan tuntunan yang mendidik. Di Indramayu, tradisi seni pertunjukan, seperti sandiwara, sejak dahulu kala menjadi pilar budaya yang berfungsi sebagai media penyampai nilai-nilai luhur, etika, dan cerminan kehidupan masyarakat. Namun, belakangan ini, seiring derasnya arus modernisasi, esensi luhur ini kian memudar. Fenomena yang marak kita saksikan adalah seni lebih didominasi sebagai hiburan semata, mengesampingkan fungsi tuntunannya yang vital.

Dahulu, sebuah pementasan sandiwara adalah pengalaman yang mendalam. Penonton tidak hanya disuguhi hiburan visual dan auditif, melainkan juga diselami dalam pesan moral yang kuat. Cerita-cerita yang disajikan kerapkali mengandung nilai-nilai kepahlawanan, kesetiaan, kejujuran, dan berbagai kebijaksanaan hidup yang relevan. Masyarakat yang menyaksikan pertunjukan pulang tidak hanya dengan kenangan akan hiburan, tetapi juga dengan pelajaran berharga yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seni benar-benar menjadi bagian integral dari pembentukan karakter individu dan komunitas.

Namun, era digital telah membawa pergeseran paradigma yang mengkhawatirkan. Dengan media sosial seperti YouTube dan Facebook menjadi platform utama bagi seniman untuk menjangkau khalayak luas, banyak seniman, terutama mereka yang muncul di era 2000-an, cenderung mengorbankan nilai-nilai edukatif demi daya tarik pasar. Semboyan "yang penting laku di pasaran" seolah menjadi mantra, bahkan jika itu berarti mengabaikan etika dan norma yang seharusnya dijaga dalam sebuah pertunjukan seni.

Contoh paling mencolok adalah penggunaan kata-kata tidak pantas atau lirik lagu yang mengajak pada tindakan negatif, seperti perselingkuhan, yang kini marak dan memprihatinkan. Ini tidak hanya mencoreng citra seni itu sendiri, tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang signifikan pada masyarakat, khususnya anak-anak. Anak-anak yang terus-menerus terpapar konten semacam ini cenderung menganggap hal-hal yang tadinya tabu menjadi lumrah. Ini adalah bahaya laten yang secara perlahan namun pasti mengancam moralitas generasi mendatang, membentuk persepsi bahwa hal-hal yang tidak etis adalah sesuatu yang biasa dan bahkan lucu.

Oleh karena itu, sangat krusial bagi kita untuk kembali merenungkan esensi seni sebagai tuntunan. Seni harus kembali berfungsi sebagai cerminan dan pembentuk karakter, bukan sekadar pelarian sesaat dari realitas atau komoditas hiburan semata. Tanggung jawab ini tidak hanya berada di pundak seniman, melainkan juga organisasi seni, pemerintah daerah, dan seluruh lapisan masyarakat. Bersama, kita harus bekerja keras untuk mengembalikan marwah seni sebagai media edukasi yang efektif dan relevan di tengah perubahan zaman, demi masa depan Indramayu yang lebih berbudaya dan beretika.

Content Creator

Akang Marta (Indramayutradisi.com)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel