Militansi Akar Rumput: Tradisi yang Teruji Zaman
Militansi Akar Rumput: Tradisi yang Teruji Zaman
Di
tengah arus zaman yang berubah cepat, kekuatan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai
organisasi keagamaan terbesar di Indonesia tidak semata-mata terletak pada elit
strukturalnya, tetapi justru pada militansi kader-kader akar rumput yang
tersebar hingga pelosok desa. Militansi ini bukan lahir dari doktrin ideologis
yang kaku, melainkan tumbuh dari laku hidup sehari-hari yang bersumber dari
nilai-nilai pesantren, keikhlasan dalam khidmah, dan rasa memiliki terhadap NU
sebagai rumah bersama.
Militansi
kader akar rumput NU terbukti bukan sekadar loyalitas simbolik. Ia adalah daya
tahan yang teruji waktu. Di masa-masa sulit, seperti masa penjajahan, Orde Lama
hingga Orde Baru, kader-kader NU di tingkat basis tetap teguh menjaga tradisi,
kultural, dan identitas keislaman ala Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah.
Mereka menjadi pelindung masyarakat dari pengaruh radikalisme, komunisme,
maupun sekularisme yang ekstrem. Bahkan ketika NU mengambil keputusan politik
besar—seperti keluar dari politik praktis pada 1984 atau kembali ke arena
politik pasca-Reformasi—militansi akar rumput tetap menjadi penopang yang setia
dan stabil.
Yang menarik,
militansi ini tidak dibangun dengan struktur komando yang ketat, tetapi melalui
pendekatan kultural dan spiritual. Majelis taklim, tahlilan, manaqiban,
pengajian kitab kuning, dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan menjadi media
konsolidasi yang hidup dan menyatu dalam ritme masyarakat. Tidak heran bila
kader NU di akar rumput memiliki daya rekat sosial yang tinggi—mereka tidak
hanya hadir saat pemilu, tetapi aktif dalam kehidupan sosial, budaya, dan
keagamaan warga sehari-hari.
Namun
demikian, tantangan zaman mulai menguji daya tahan militansi tersebut.
Modernisasi, digitalisasi, dan arus informasi yang serba cepat membuat
keterikatan kultural mulai tergerus. Generasi muda tidak lagi otomatis mewarisi
semangat perjuangan NU sebagaimana generasi sebelumnya. Militansi yang dulunya
bersifat kultural kini memerlukan penguatan dari sisi ideologis dan intelektual
agar tidak kehilangan arah.
Karenanya,
revitalisasi militansi akar rumput menjadi pekerjaan penting NU saat ini.
Militansi tidak cukup dengan seragam dan jargon. Ia harus ditopang oleh
pemahaman ke-NU-an yang kuat, keterlibatan aktif dalam problem sosial
masyarakat, serta kemampuan beradaptasi dengan zaman. Para kader perlu
diperkuat dengan pelatihan, pendidikan politik keumatan, serta literasi digital
agar mereka tidak hanya menjadi penjaga tradisi, tetapi juga agen perubahan
yang cerdas.
NU mesti
membangun ekosistem gerakan yang memadukan kekuatan kultural dengan kapasitas
strategis. Militansi kader di akar rumput perlu diberi ruang dalam pengambilan
keputusan organisasi, agar keterlibatan mereka tidak berhenti di panggung
seremonial, tetapi menjadi bagian dari dinamika strategis organisasi.
Pada
akhirnya, militansi akar rumput adalah fondasi NU yang selama ini menjaga
kekokohan organisasi. Tradisi ini sudah teruji zaman, namun bukan berarti tak
bisa luntur. Dengan revitalisasi dan penguatan kapasitas, militansi ini akan
terus menjadi energi utama yang menghidupkan NU dari bawah—dari mushala ke
mushala, dari desa ke desa, dari hati ke hati.
Content Creator
Akang Marta (Indramayutradisi.com)