Antara Janji dan Realitas: Menemukan Jalan Tengah Kebijakan Publik
Antara Janji dan Realitas: Menemukan Jalan Tengah Kebijakan Publik
Wawancara panjang yang dilakukan bukan sekadar pertunjukan retorika politik
semata. Ia memperlihatkan dilema klasik yang kerap dihadapi para pembuat
kebijakan antara harapan publik dan keterbatasan teknis anggaran. Di satu sisi,
masyarakat menuntut langkah cepat dan konkret untuk mengatasi persoalan ekonomi
serta kesejahteraan sosial. Namun di sisi lain, pemerintah harus berhati-hati
agar kebijakan yang diambil tidak menimbulkan risiko fiskal jangka panjang.
Inilah ketegangan abadi antara kecepatan tindakan dan kehati-hatian kebijakan
yang selalu menyertai proses pengambilan keputusan publik.
Pernyataan Menteri yang mengatakan “saya belum tahu siapa yang bayar” untuk
pemutihan BPJS tidak bisa dianggap sebagai kelemahan semata. Sebaliknya, hal
itu merupakan sinyal bahwa pemerintah menyadari kompleksitas beban finansial
dan narasi politik di balik kebijakan tersebut. Masalah pemutihan iuran bukan
hanya tentang keringanan rakyat, tetapi juga soal tanggung jawab fiskal negara.
Kejujuran dalam mengakui ketidakpastian pembiayaan menunjukkan kesadaran atas
pentingnya transparansi anggaran. Dengan demikian, publik dapat memahami bahwa
kebijakan besar membutuhkan kajian matang sebelum dilaksanakan.
Kebijakan penyuntikan likuiditas ke Bank Pembangunan Daerah (BPD)
menunjukkan keinginan pemerintah untuk mendorong desentralisasi stimulus
ekonomi. Langkah ini diharapkan mampu memperkuat perekonomian daerah dan
mengurangi ketimpangan akses terhadap modal. Namun, kebijakan tersebut harus
diimbangi dengan mekanisme seleksi dan kontrol yang ketat agar tidak
disalahgunakan. Pengawasan yang lemah dapat menyebabkan dana tersalurkan ke
proyek tidak produktif atau bahkan memperbesar risiko moral hazard. Oleh karena
itu, desain kebijakan yang transparan dan akuntabel menjadi prasyarat utama
keberhasilan program ini.
Janji Menteri untuk “membersihkan birokrat pajak dan bea cukai” juga menjadi
perhatian penting dalam konteks reformasi institusional. Ketegasan tersebut
harus diterjemahkan ke dalam mekanisme penilaian dan sanksi yang jelas agar
tidak berhenti pada tataran wacana politik. Reformasi birokrasi membutuhkan
keberanian untuk menegakkan integritas tanpa pandang bulu, namun tetap menjamin
keadilan prosedural bagi setiap aparatur. Jika dilaksanakan dengan konsisten,
langkah ini dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga perpajakan dan
kepabeanan. Sebaliknya, jika hanya menjadi slogan, maka akan memperdalam
skeptisisme masyarakat terhadap pemerintah.
Optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi yang disampaikan pemerintah harus
dijaga agar tidak berubah menjadi janji kosong di tengah ketidakpastian global.
Keyakinan terhadap peningkatan ekonomi perlu didukung dengan kebijakan yang
berbasis data dan realistis. Pemerintah harus mengantisipasi risiko eksternal
seperti fluktuasi harga komoditas, suku bunga global, dan ketegangan geopolitik
yang dapat memengaruhi stabilitas nasional. Di sisi lain, utang yang digunakan
sebagai instrumen pembiayaan perlu dikelola secara hati-hati agar tidak menjadi
beban jangka panjang. Dengan manajemen risiko yang cermat, optimisme
pertumbuhan dapat diwujudkan secara berkelanjutan.
Akhirnya, jalan tengah atau middle path merupakan pilihan kebijakan
yang paling realistis dalam situasi politik, sosial, dan fiskal Indonesia saat
ini. Pemerintah perlu menyeimbangkan antara janji populis dan kapasitas fiskal
yang sesungguhnya dimiliki negara. Penetapan prioritas dan disiplin dalam
pelaksanaan menjadi faktor penentu keberhasilan strategi ini. Dengan langkah
yang terukur, janji-janji publik dapat diubah menjadi kebijakan nyata tanpa
menimbulkan tekanan berlebihan terhadap anggaran negara. Hanya melalui
keseimbangan antara visi dan kehati-hatian, pemerintah dapat menjaga
kepercayaan rakyat sekaligus stabilitas ekonomi nasional.
Kontributor
Akang
Marta