Posisi Utang Pemerintah Indonesia: Antara Batas Aman dan Tantangan Kemandirian Fiskal
Posisi
Utang Pemerintah Indonesia: Antara Batas Aman dan Tantangan Kemandirian Fiskal
Dalam
wawancara terakhir dengan wartawan, Menteri Keuangan menegaskan bahwa posisi
utang pemerintah Indonesia saat ini masih tergolong aman. Ia menyebut total
utang telah melebihi Rp9.000 triliun, namun rasio terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) masih di bawah 39 persen. Menurutnya, ukuran bahaya utang tidak
ditentukan oleh nominal absolut, melainkan oleh kemampuan ekonomi nasional
untuk menanggungnya. Sebagai perbandingan, banyak negara Eropa memiliki rasio
utang terhadap PDB yang jauh lebih tinggi, bahkan Jepang mencapai lebih dari
250 persen. Meski demikian, pemerintah berkomitmen untuk menekan penerbitan
utang baru serta meningkatkan efisiensi belanja negara agar keberlanjutan
fiskal tetap terjaga.
Data
publik dari berbagai sumber mendukung klaim bahwa posisi utang Indonesia masih
dalam batas kewajaran. Kementerian Keuangan mencatat rasio utang pemerintah
terhadap PDB per akhir 2024 mencapai 39,36 persen, sementara pada Januari 2025
sedikit meningkat menjadi 39,6 persen menurut data Ditjen Pengelolaan
Pembiayaan dan Risiko. Laporan CEIC juga menunjukkan angka yang sejalan, yakni
sekitar 39,2 persen pada Desember 2024. Secara historis, rata-rata rasio utang
Indonesia selama dekade 2015–2024 berada di kisaran 38,48 persen. Angka-angka
tersebut menggambarkan tren yang relatif stabil dan menunjukkan bahwa kebijakan
fiskal masih terkendali.
Berdasarkan
kerangka hukum yang berlaku, batas maksimal rasio utang pemerintah terhadap PDB
ditetapkan sebesar 60 persen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Artinya, posisi utang Indonesia saat ini masih cukup
jauh dari ambang batas kritis yang ditentukan undang-undang. Kondisi ini
memberikan ruang gerak bagi pemerintah untuk tetap menjalankan kebijakan
ekspansif dalam situasi tertentu, seperti pembiayaan pembangunan dan stimulus
ekonomi. Namun demikian, kewaspadaan tetap dibutuhkan agar peningkatan utang
tidak berubah menjadi beban jangka panjang. Dalam konteks ini, keseimbangan
antara keberlanjutan fiskal dan kebutuhan pembangunan menjadi kunci utama.
Meski
secara rasio terlihat aman, sejumlah pengamat ekonomi tetap memberikan
peringatan terhadap tren peningkatan utang. Mereka menilai bahwa jika defisit
anggaran dan biaya bunga terus meningkat, rasio utang bisa melampaui 40 persen
dalam waktu dekat. Hal ini berpotensi mengurangi fleksibilitas fiskal pemerintah
untuk menghadapi krisis ekonomi mendadak. Oleh karena itu, pengelolaan utang
harus disertai strategi penurunan beban bunga dan peningkatan kualitas belanja
publik. Dengan demikian, kebijakan fiskal dapat tetap produktif tanpa
menimbulkan tekanan berat terhadap anggaran negara.
Lembaga
pemantau seperti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) turut
memberikan catatan terkait perkembangan utang nasional. Berdasarkan laporan
mereka, per April 2025 rasio utang pemerintah tercatat sekitar 37,94 persen
terhadap PDB. Angka ini sedikit lebih rendah dibanding data Kementerian
Keuangan, namun tetap menunjukkan tren yang perlu diwaspadai. FITRA menekankan
pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan utang publik agar
masyarakat memahami konteks penggunaannya. Keterbukaan informasi semacam ini
penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap kebijakan fiskal
pemerintah. Dengan pengawasan dan akuntabilitas yang kuat, Indonesia dapat
menjaga utangnya dalam batas aman sambil tetap menapaki jalan menuju
kemandirian finansial.
Kontributor
Akang
Marta