Ads

Kebenaran Menurut Siapa?

 

Antara Kebenaran, Kegunaan, dan Kepercayaan: Menimbang Sains dan Dukun di Ruang Pengetahuan Nusantara

Kebenaran Menur

ut Siapa?



“Benar selalu menurut siapa.” Kalimat sederhana ini menyimpan kesadaran epistemologis yang sangat dalam. Setiap sistem pengetahuan — baik sains, agama, seni, maupun mistik — beroperasi dalam kosmosnya sendiri dengan kriteria kebenaran yang unik. Apa yang dianggap benar dalam sains belum tentu berlaku dalam agama atau seni. Begitu pula, yang sah dalam logika bisa tampak keliru jika dilihat dari perspektif etika atau tradisi budaya.

Di sinilah kita memasuki wilayah yang oleh Michel Foucault disebut regime of truth, atau rezim kebenaran. Setiap masyarakat mengembangkan mekanisme sendiri untuk menentukan apa yang dianggap benar, siapa yang berhak menyatakannya, dan bagaimana kebenaran itu disebarkan. Dalam sains modern, kebenaran diukur melalui eksperimen, peer review, dan replikasi hasil penelitian. Sementara dalam dunia dukun atau primbon, kebenaran bisa ditentukan oleh harmoni kosmis, wahyu leluhur, atau intuisi spiritual. Kedua pendekatan ini valid dalam konteksnya masing-masing, tetapi tidak selalu saling kompatibel.

Menilai satu sistem dengan kriteria sistem lain sering menimbulkan kebingungan. Sang narator dalam teks itu menegaskan, “Narasi ilmu kedukunan dinilai pakai kriteria ilmu sains — tentu salah semua. Begitu juga sebaliknya.” Kesalahan ini muncul karena publik sering mencoba membandingkan apel dengan jeruk. Padahal, keduanya merupakan buah yang berbeda dan memiliki cara tumbuh, rasa, serta manfaat yang berbeda pula. Perbedaan ini tidak berarti salah, melainkan menunjukkan keragaman cara manusia memahami realitas.

Kesalahpahaman publik sering terjadi akibat dikotomi palsu antara sains dan mistik. Banyak orang berpikir harus memilih antara “percaya sains” atau “percaya mistik”. Padahal, keduanya tidak bersaing memperebutkan satu kebenaran tunggal. Keduanya adalah cara berbeda untuk memetakan realitas dan merespons pertanyaan manusia tentang dunia. Menghargai kedua perspektif ini justru memperkaya cara kita memahami kompleksitas kehidupan.

Dengan memahami bahwa kebenaran selalu relatif terhadap sistem pengetahuan tertentu, kita bisa lebih bijak dalam menilai klaim orang lain. Tidak ada satu ukuran tunggal yang bisa memutuskan semua kebenaran. Yang benar bagi sains bisa salah bagi agama, dan sebaliknya. Kunci epistemik adalah menyadari kerangka di mana klaim itu dibuat. Kesadaran ini membuka ruang dialog antar-narasi pengetahuan tanpa harus memaksakan dominasi satu kebenaran.

Kontributor

Akang Marta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel