Ads

Bentrokan Pendukung Kuwu: Ketika Demokrasi Desa Tersandera Emosi Kolektif

 

Bentrokan Pendukung Kuwu: Ketika Demokrasi Desa Tersandera Emosi Kolektif

Penulis: Akang Marta

 


Bentrokan antarpendukung calon kuwu di Desa Sudimampir, Balongan, Indramayu, Selasa siang, 25 November 2025, kembali menjadi cermin buram wajah demokrasi tingkat desa. Video saling lempar  yang berawal dari nasi bungkus dan air mineral sebelum meningkat menjadi batu  menyebar cepat di media sosial, memperlihatkan bagaimana agenda pengundian nomor urut calon kuwu dapat berubah menjadi arena adu emosi. Demokrasi lokal, yang semestinya menjadi ruang warga untuk memilih pemimpin desa secara dewasa, justru terseret menjadi panggung spontanitas massa yang tak terkelola.

Kericuhan ini memang cepat diredam. Kepolisian dan TNI sigap melerai sebelum situasi berubah lebih fatal. Kapolsek Balongan, AKP Dedi Wahyudi, menyebut peristiwa itu hanya berlangsung sebentar. Namun, singkatnya ketegangan bukan berarti ringannya masalah. Bentrokan ini menambah deretan contoh bahwa Pilwu di Indramayu kerap menghadirkan gesekan horizontal yang muncul bukan dari ide, gagasan, atau visi pembangunan desa  tetapi dari fanatisme pendukung yang tidak diimbangi kedewasaan politik.

Fenomena saling ejek hingga saling lempar itu memperlihatkan dua hal: pertama, bahwa Pilwu masih dipersonalisasi sebagai kompetisi gengsi, bukan proses pemilihan pemimpin yang berorientasi pada masa depan desa. Kedua, lemahnya literasi demokrasi di akar rumput menjadikan ajang ini mudah disulut provokasi kecil. Ejekan kecil yang seharusnya bisa diabaikan justru menjadi pemicu pertunjukan amarah komunal.

Demokrasi desa tidak akan pernah stabil selama politik identitas kecil, persaingan keluarga, dan kepentingan patronase masih membungkus proses Pilwu. Fanatisme pendukung yang menganggap kubunya sebagai “harga diri desa” sering kali melampaui rasionalitas. Padahal, tugas memilih kuwu bukanlah soal siapa yang paling keras didukung, melainkan siapa yang paling mampu mengelola desa enam tahun ke depan.

Indramayu tengah bersiap menyelenggarakan Pilwu 2025 secara serentak, bahkan dengan sistem semi-digital. Modernisasi teknologi ini tampak mengesankan. Namun kejadian di Sudimampir mengingatkan kita bahwa digitalisasi tidak otomatis memperbaiki kultur politik. Teknologi mungkin mempercepat penghitungan suara, tetapi tidak bisa meredam gejolak emosi pendukung yang meledak akibat provokasi sepele. Yang dibutuhkan kini bukan hanya pengamanan yang ketat, melainkan pembinaan politik yang serius. Pemerintah desa, panitia Pilwu, hingga aparat keamanan perlu memastikan bahwa setiap tahapan Pilwu tidak menjadi ruang terbuka bagi gesekan sosial. Jika ejekan saja bisa memantik kerusuhan, bagaimana masyarakat menghadapi fase kampanye dan hari pemungutan suara yang jauh lebih rawan?

Masyarakat Sudimampir dan desa-desa lain di Indramayu harus belajar bahwa Pilwu bukan perang harga diri, apalagi arena unjuk kekuatan massa. Demokrasi desa harus dijalankan dengan kepala dingin dan hati lapang, bukan dengan tangan yang cepat melempar batu. Jika pola seperti ini terus berulang, Pilwu hanya akan menjadi ritual yang menguras energi sosial dan memecah warga. Indramayu memerlukan keteladanan politik dari para calon dan pendukungnya. Seorang calon kuwu yang layak dipilih bukanlah yang memiliki pendukung paling lantang, tetapi yang mampu meredakan ketegangan, mengajak pendukungnya bersikap elegan, dan menempatkan kedamaian desa sebagai prioritas.

Bentrokan di Sudimampir seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pihak. Demokrasi lokal hanya akan bermartabat jika masyarakat berani menahan diri dan mengutamakan kepentingan desa di atas ego kelompok. Tanpa itu, Pilwu hanya akan menjadi perayaan politik yang kehilangan ruhnya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel