Pilkades Serentak 2025: Digitalisasi Demokrasi Desa yang Menuntut Kesiapan Nyata
Pilkades Serentak 2025: Digitalisasi Demokrasi Desa yang Menuntut Kesiapan Nyata
Penulis: Akang Marta
Pemerintah Kabupaten Indramayu akhirnya
menginjak pedal gas penuh untuk memulai kembali gelaran Pemilihan Kuwu
(Pilkades) Serentak 2025, setelah lebih dari dua tahun proses ini tersendat
karena kekosongan regulasi dan tarik-menarik kebijakan di tingkat pusat.
Penetapan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 30 Tahun 2025 pada 22 September lalu bukan
sekadar pengesahan teknis, tetapi sebuah penanda bahwa Indramayu memasuki fase
baru: digitalisasi demokrasi di tingkat desa.
Sosialisasi Perbup, yang digelar di Aula Dinas
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), menyiratkan pesan yang lebih besar
dari sekadar rapat koordinasi. Pemerintah daerah sedang mengetuk pintu
perubahan, sembari berharap desa-desa siap untuk membukanya. Jajang Sudrajat,
Asisten Daerah Bidang Pemerintahan, mengingatkan bahwa perjalanan menuju
Pilkades 2025 bukan jalan lurus tunda,
revisi, dan kepastian yang datang terlambat menjadikan proses ini rentan
terhadap ketidakpastian politik di akar rumput.
Kelahiran regulasi yang ditunggu-tunggu ini
memang membuka jalan bagi tahapan Pilkades yang kini berjalan maraton:
pendaftaran bakal calon pada 1–13 Oktober, penetapan calon permanen pada 21
November, hingga pemungutan suara pada 10 Desember 2025. Rentetan jadwal itu
menggambarkan keseriusan Pemkab mengatur ritme yang cepat namun tetap terukur. Tetapi
yang paling mencuri perhatian adalah satu hal: Indramayu menjadi pilot project
Pilwu Digital Jawa Barat. Sistem semi-digital yang diterapkan dengan integrasi sebagian proses pemungutan
suara melalui perangkat elektronik disiapkan
bukan hanya untuk mengikuti arus modernisasi, melainkan juga untuk menjawab
tantangan klasik Pilkades: konflik pemilih, manipulasi suara, dan lemahnya
akurasi data.
Namun, digitalisasi bukan jaminan jika fondasi
sosial dan teknis masih rapuh. Tantangan terbesar bukan pada aplikasi yang
dipasang di TPS, melainkan pada kesiapan masyarakat desa yang sangat heterogen.
Literasi digital perangkat desa, kapasitas panitia Pilwu, serta keandalan data
kependudukan masih menjadi celah yang patut diwaspadai. Satu kesalahan teknis
di TPS bisa bergulir menjadi masalah kepercayaan publik yang sulit dipulihkan. Di
sisi lain, persyaratan bagi calon kuwu yang ditegaskan kembali dalam Perbup mulai dari pendidikan minimal SMP, usia 25
tahun, hingga rekam jejak bebas pidana dan narkoba bersifat konservatif namun penting.
Persyaratan itu bukan sekadar administratif; ia adalah pagar moral untuk
memastikan jabatan kuwu tidak jatuh ke tangan mereka yang sekadar bermodal
popularitas instan atau kedekatan politik.
Pilkades adalah denyut paling dasar dari
demokrasi Indonesia. Jika pemilu nasional adalah panggung besar, Pilkades
adalah ruang tamu tempat warga bernegosiasi tentang masa depan desa mereka.
Karena itu, kesalahan dalam Pilkades tidak bisa dianggap minor. Indramayu harus
mencatat bahwa digitalisasi tidak boleh menghapus unsur keterlibatan
masyarakat. Transparansi harus berjalan seiring dengan keterbukaan informasi,
sementara efisiensi tidak boleh mengorbankan partisipasi.
Pemkab Indramayu adalah pionir. Tetapi menjadi
pionir artinya siap menanggung risiko, mengantisipasi kegagalan, dan bersedia
memperbaiki kekurangan secara terbuka. Pilwu Digital, jika berhasil, akan
menjadi model bagi kabupaten lain di Jawa Barat
bahkan nasional. Jika gagal, ia berpotensi menimbulkan skeptisisme
berkepanjangan terhadap teknologi dalam ruang demokrasi desa.
