Ads

Netralitas Panitia Pilwu: Ujian Integritas Demokrasi Desa

 

Netralitas Panitia Pilwu: Ujian Integritas Demokrasi Desa

Penulis: Akang Marta

 


Pernyataan Wakil Ketua DPRD Indramayu, H. Sirojudin, mengenai pentingnya netralitas panitia Pemilihan Kuwu (Pilwu) 2025 kembali menegaskan bahwa demokrasi tingkat desa tengah memasuki fase krusial. Di Gedung DPRD Indramayu, Rabu siang, 26 November 2025, Sirojudin berbicara lugas: panitia Pilwu tidak boleh menjadi kaki tangan kepentingan tertentu. Pernyataan itu tepat, meski bisa dibilang terlambat, mengingat dinamika Pilwu di Indramayu yang sejak lama rawan gesekan, gugatan, hingga intervensi politik lokal.

Netralitas panitia bukan sekadar imbauan normatif. Dalam konteks Pilwu, panitia adalah tulang punggung yang menentukan apakah proses berjalan jujur atau justru menjadi panggung bias. Ketika sejumlah desa telah mengajukan gugatan ke PTUN, sinyal bahwa ketidakpuasan dan kecurigaan publik mulai menguat tidak boleh diabaikan. Sirojudin menyebut tahapan Pilwu tetap berjalan sesuai keputusan panitia  pernyataan yang menenangkan, tetapi sekaligus menuntut kehati-hatian ekstra.

Pilkades selama ini dikenal sebagai pesta demokrasi yang menyedot energi sosial begitu besar. Tarik-menarik kepentingan keluarga, pengaruh patron lokal, hingga potensi tekanan aparat desa menjadikan Pilwu salah satu arena paling rawan konflik horizontal. Contoh paling nyata adalah gesekan yang terjadi di Desa Sudimampir saat pengundian nomor urut beberapa hari lalu  insiden kecil yang cukup menjadi pengingat bahwa tensi politik desa tidak pernah benar-benar landai.

Dalam situasi demikian, seruan Sirojudin agar para calon “legowo” menerima hasil Pilwu terdengar ideal, tetapi sulit diwujudkan tanpa fondasi kepercayaan publik yang kuat. Legowo hanya mungkin jika masyarakat percaya proses berjalan bersih. Dan itu mustahil tercapai tanpa panitia yang berdiri tegak di tengah pusaran kepentingan.

Digitalisasi Pilwu yang digadang-gadang sebagai upaya modernisasi pun belum sepenuhnya menjawab persoalan. Sistem hybrid  satu TPS digital per desa, sisanya manual  mengisyaratkan bahwa inovasi ini masih setengah jalan. Alih-alih menjadi terobosan, formula seperti ini justru berpotensi memunculkan ketimpangan persepsi: apakah TPS digital lebih akurat? Apakah TPS manual rawan kecurangan? Narasi keraguan bisa muncul kapan saja jika tidak dikelola dengan transparan.

Di tengah euforia persiapan Pilwu 2025, tingkat partisipasi pemilih yang disebut Sirojudin berada di angka 60–70 persen juga patut dicermati. Angka ini menunjukkan bahwa sepertiga warga desa masih memilih untuk tidak ikut menentukan pemimpinnya sendiri. Apakah karena apatis, takut konflik, atau merasa hasil sudah bisa ditebak sebelum hari pemungutan suara? Pertanyaan-pertanyaan ini jarang disentuh dalam diskursus formal Pilwu, padahal justru menyimpan persoalan mendasar tentang legitimasi demokrasi desa.

Indramayu menghadapi Pilwu yang melibatkan ratusan desa dan ribuan calon. Dengan skala sebesar ini, risiko ketegangan dan kecurigaan nyaris tidak terhindarkan. Karena itu, imbauan netralitas panitia bukan sekadar formalitas politisi  melainkan titik krusial yang menentukan apakah Pilwu 2025 akan dikenang sebagai kontestasi demokratis atau sebagai ritual yang mengulang kekacauan klasik.

Di ujung pernyataannya, Sirojudin menyebut ia memantau langsung situasi di dapilnya: Sudimampir, Sukareja, Balongan, dan Rawa Dalem. Pengawasan legislator tentu penting. Namun pengawasan publik jauh lebih penting. Sebab demokrasi desa tidak hanya membutuhkan panitia yang netral, tetapi juga warga yang kritis dan berani menjaga integritas proses pemilihan. Netralitas panitia adalah harga mati. Tanpa itu, Pilwu 2025 hanya akan menjadi drama panjang yang penuh gugatan, kecurigaan, dan konflik kecil yang terus berulang  sebuah demokrasi lokal yang berjalan, tetapi tanpa kedewasaan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel