Ads

Pilkades Digital: Antara Harapan Baru dan PR Besar Demokrasi Desa

 

Pilkades Digital: Antara Harapan Baru dan PR Besar Demokrasi Desa

Penulis: Akang Marta



Surat Edaran Nomor 143/PMD.01/DPM-DESA yang dirilis Pemerintah Provinsi Jawa Barat pekan ini mengirimkan tanda penting: arah demokrasi desa tengah memasuki babak baru alih teknologi yang tidak lagi bisa ditunda. Pilkades elektronik/digital, sebagaimana ditekankan dalam edaran itu, bukan sekadar inovasi teknis, tetapi proses politik yang akan menguji kesiapan desa menghadapi perubahan paling mendasar dalam kultur kepemilihan di tingkat lokal.

Bagi Jawa Barat provinsi dengan desa paling banyak se-Indonesia keputusan ini ibarat menekan tombol percepatan. Sebanyak 528 kepala desa akan mengakhiri masa jabatannya di awal 2026. Artinya, gelombang Pilkades besar akan terjadi lebih awal, dimulai Desember 2025. Momentum ini tidak bisa dikelola dengan metode lama yang rentan konflik, lambat, dan sering kali menimbulkan kecurigaan publik. Karena itu, digitalisasi Pilkades tampil sebagai jawaban setidaknya dalam teori. Namun, seperti halnya inovasi pemerintah lainnya, teknologi bukan hanya soal alat; ia memerlukan kesiapan sosial, budaya, infrastruktur, bahkan imajinasi kolektif. Mendorong desa-desa di Jawa Barat memasuki sistem pemungutan suara digital harus disikapi dengan hati-hati. Jangan sampai sistem canggih hanya menjadi dekorasi tanpa mampu menyentuh akar persoalan: integritas pemutakhiran data pemilih, kapasitas SDM desa, dan kepercayaan masyarakat terhadap proses elektoral.

Surat edaran ini memang memberikan kerangka yang cukup tebal dari dasar hukum hingga teknis pelaksanaan. Ada pasal-pasal penting yang diperkuat: Undang-Undang Desa, UU Pemerintahan Daerah, Putusan MK 147/PUU-VII/2009 yang memungkinkan “mencoblos” dipahami secara digital, hingga Surat Edaran Mendagri dan Gubernur. Semua tampak rapi di atas kertas. Yang menjadi pertanyaan publik adalah apakah kabupaten/kota benar-benar siap menjalankannya. Pemerintah provinsi mensyaratkan banyak hal: kesiapan perangkat digital, anggaran, peningkatan literasi digital aparatur desa, dan verifikasi biometrik KTP-el di TPS. Bahkan desa harus mulai mengalihkan data penduduk ke aplikasi administrasi digital sebagai fondasi DPT elektronik.

Inilah titik krusialnya: data. Pemilihan digital hanya akan sebaik data yang dianutnya. Jika data tidak mutakhir, sistem secanggih apa pun tak akan mampu mencegah sengkarut administratif yang sering menjadi sumber konflik. Apalagi sebagian desa masih bergantung pada proses manual yang rentan salah tulis, salah hitung, dan salah tafsir. Program alih kelola data ini akan menjadi ujian pertama apakah desa-desa kita benar-benar siap memasuki demokrasi digital.

Di sisi lain, digitalisasi Pilkades dapat menjadi jalan keluar dari persoalan klasik: politik uang yang beredar dari rumah ke rumah, intimidasi, dan konflik antarpendukung. Sistem elektronik yang lebih cepat dan akurat berpotensi menutup ruang manipulasi. Penghitungan yang terekam otomatis, misalnya, dapat meminimalisasi dugaan permainan di tingkat TPS. Transparansi menjadi lebih terukur, bukan sekadar jargon. Tetapi publik juga patut waspada. Penggunaan perangkat digital tanpa pengawasan yang memadai hanya akan memindahkan potensi kecurangan dari TPS ke sistem. Itulah sebabnya pengawasan dari provinsi, kabupaten, BPD, hingga tokoh masyarakat harus diperkuat. Jangan sampai demokrasi desa menjadi tergantung pada vendor teknologi yang tak dipahami oleh warga sendiri.

Langkah pemerintah yang membuka ruang pilot project patut diapresiasi. Setidaknya, tidak semua desa dipaksa masuk ke sistem yang sama pada waktu yang sama. Evaluasi dan penyempurnaan menjadi bagian dari proses, bukan sekadar formalitas. Tetapi sekali lagi, keberhasilan model percontohan bergantung pada kemauan daerah dan kualitas pendampingan teknis. Tentu saja opini publik tak bisa mengabaikan persoalan calon tunggal. Regulasi mengharuskan penundaan Pilkades jika hanya ada satu calon sampai terbitnya Peraturan Pelaksana UU No. 3/2024. Ini menjadi penanda lain bahwa demokrasi desa tidak hanya ditempuh melalui teknologi, tetapi juga melalui kebijakan yang memastikan kompetisi tetap sehat dan representatif. Pada akhirnya, Pilkades digital menawarkan harapan baru. Ia menjanjikan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Tetapi harapan ini tidak boleh membuat pemerintah menutup mata terhadap pekerjaan rumah besar: meningkatkan literasi digital aparatur, merapikan basis data kependudukan, menyiapkan infrastruktur teknologi, serta memastikan masyarakat merasa memiliki proses ini.

Demokrasi desa adalah demokrasi paling dekat dengan kehidupan sehari-hari warga. Jangan sampai digitalisasi justru menjauhkan mereka dari proses politiknya sendiri. Sebaliknya, digitalisasi harus menjadi jembatan menuju desa yang lebih modern, inklusif, dan bermartabat. Yang jelas, Pilkades digital bukan sekadar proyek teknologi; ia adalah babak penting dalam sejarah demokrasi Jawa Barat. Dan seperti semua sejarah, publik akan mengingat bukan hanya apa yang terjadi, tetapi bagaimana itu dilaksanakan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel