Sains dan Dukun di Ruang Pengetahuan Nusantara
Antara Kebenaran, Kegunaan, dan Kepercayaan:
Menimbang Sains dan Dukun di Ruang Pengetahuan Nusantara
Antara Pawang dan Partikel
“Mas, orang-orang itu aneh ya. Udah ada psikologi
kok masih percaya primbon, udah ada fisika kok percaya sama dukun.” Kalimat
itu, meski diucapkan setengah bercanda, menyimpan tanya yang dalam tentang
kegelisahan manusia modern Indonesia. Kita hidup di era rasional, di mana
teknologi dan ilmu pengetahuan seolah menjadi penuntun utama hidup. Namun, di
sisi lain, banyak orang masih menggantungkan harapan pada hal-hal yang tidak
bisa dijelaskan sains. Kontradiksi inilah yang membuat fenomena ini menarik
untuk ditelisik lebih jauh.
Di satu sisi, manusia mengandalkan algoritma
cuaca untuk meramal hujan atau menentukan jadwal kegiatan penting. Di sisi
lain, masyarakat masih mengundang pawang hujan agar acara pernikahan atau
ritual adat tidak terganggu hujan. Perilaku ini tampak bertentangan dengan
logika ilmiah modern, namun tetap berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa
rasionalitas formal bukan satu-satunya lensa yang digunakan manusia untuk
menghadapi realitas. Ada dimensi lain dalam kehidupan yang tetap relevan meski
tidak diukur dengan metode ilmiah.
Apakah ini bentuk kebodohan, atau justru
manifestasi kebijaksanaan yang berbeda? Mungkin ini adalah bentuk pengetahuan
yang tidak sepenuhnya bisa diukur sains, namun tetap efektif secara praktis.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan tentang batas-batas sains dan validitas
pengetahuan non-ilmiah. Manusia tampaknya mencari solusi yang bekerja, bukan
selalu solusi yang “benar” secara teori. Maka, pengertian tentang kebenaran
menjadi relatif dan kontekstual.
Fenomena ini mengungkapkan sesuatu yang lebih
mendasar daripada sekadar konflik antara logika dan mistika. Ini berkaitan
dengan cara manusia memahami kebenaran itu sendiri. Dalam bahasa Indonesia,
kata “kebenaran” bisa merujuk pada dua konsep berbeda dalam bahasa Inggris: truth dan right.
Yang satu menunjuk pada kebenaran absolut, yang lain pada kebenaran relatif
dalam konteks tertentu. Perbedaan ini menjadi inti persoalan epistemik yang
sering terlewatkan dalam diskusi sehari-hari.
Dan di sinilah persoalan epistemik itu mulai
terlihat: sains tidak selalu mencari kebenaran absolut, melainkan kegunaan.
Setiap teori ilmiah adalah model, alat untuk memprediksi dan memahami fenomena,
bukan penentu mutlak realitas. Manusia menciptakan sistem ini agar dunia dapat
dipahami secara konsisten. Sains bekerja dalam batas yang bisa diuji,
direplikasi, dan dimodifikasi. Dengan begitu, kebenaran yang dicapai ilmuwan
bersifat pragmatis dan kontekstual, bukan final.