Ketika Sains Bukan Lagi Soal Kebenaran
Antara Kebenaran, Kegunaan, dan Kepercayaan: Menimbang Sains dan Dukun di Ruang Pengetahuan Nusantara
Ketika Sains Bukan Lagi Soal Kebenaran
Bagi banyak orang, sains kerap dipahami sebagai
sinonim dari “kebenaran”. Namun, secara filosofis, sains tidak pernah mengklaim
dirinya sebagai pencari kebenaran absolut. Ia adalah sistem yang mencari model
yang berfungsi, yakni model yang mampu menjelaskan fenomena sekaligus
memprediksi hasil. Kekuatan sains terletak pada kemampuannya membangun kerangka
yang dapat diuji, bukan pada kesempurnaan final. Dengan kata lain, sains adalah
metode, bukan otoritas kebenaran mutlak.
Karl Popper, melalui konsep falsifikasinya,
menegaskan bahwa teori ilmiah bukanlah kebenaran yang tak tergoyahkan. Teori
hanya sah sejauh belum terbantahkan melalui pengujian empiris. Suatu teori
ilmiah bersifat sementara dan selalu terbuka untuk direvisi. Kekuatan sains
justru ada pada keterbukaannya terhadap kesalahan dan kegagalan eksperimen.
Teori hanya “benar” sampai terbukti “salah” oleh bukti baru atau eksperimen
lebih akurat.
Dalam perspektif ini, sains merupakan
perjalanan tanpa tujuan akhir yang mutlak. Ia tidak mengejar truth dalam arti absolut, melainkan right — kebenaran dalam batas kriteria yang
disepakati komunitas ilmiah. Sains adalah permainan model, bukan wahyu
metafisik yang menyingkap hakikat semesta. Setiap teori hanya peta untuk
memahami fenomena, bukan realitas itu sendiri. Dengan demikian, sains selalu
provisional dan adaptif terhadap bukti baru.
Maka, ketika seseorang menyatakan bahwa “sains
adalah kebenaran”, pernyataan itu memutlakkan sesuatu yang sejatinya bersifat
sementara. Sains tidak pernah berjanji menyingkap hakikat sejati alam semesta.
Ia hanya menyediakan alat untuk menavigasi realitas dengan cara yang paling
efisien. Peta sains bisa sangat akurat, tetapi tetap hanya representasi, bukan
wilayah itu sendiri. Oleh karena itu, memahami sains berarti memahami batasannya
sekaligus potensinya.
Sebagaimana dikatakan dalam dialog tersebut:
“Sains itu berguna, iya. Tapi apakah dia merepresentasikan kebenaran? Nanti
dulu. Itu panjang urusannya.” Pernyataan ini menekankan bahwa kegunaan sains
sering disamakan dengan kebenaran, padahal keduanya berbeda. Sains menghasilkan
model yang dapat diterapkan, bukan kebenaran mutlak yang berdiri sendiri.
Dengan perspektif ini, kita bisa lebih kritis dan terbuka terhadap berbagai
narasi pengetahuan. Memahami sains sebagai alat, bukan otoritas absolut,
memberi kita ruang untuk mengeksplorasi kebenaran dari berbagai perspektif
lain.
Kontributor
Akang Marta