Kisah Sang Penyiar Radio
Kisah Sang
Penyiar Radio
Penulis: Akang Marta
Latar Belakang dan Awal Mula Penugasan
Studio radio tempat Teh Riri ditugaskan pada tahun 2014 berdiri di salah
satu sudut kota di Jawa Barat yang tidak pernah benar-benar tidur, namun selalu
terasa sunyi. Dari luar, bangunannya tampak biasa saja—cat dinding yang mulai
pudar, papan nama radio yang sudah kusam, dan pintu besi yang berderit setiap
kali dibuka. Namun bagi masyarakat sekitar, tempat itu bukan sekadar studio
penyiaran. Ia dikenal sebagai bangunan tua yang “berpenghuni”, penuh
kisah-kisah yang diturunkan dari mulut ke mulut sejak puluhan tahun lalu.
Cerita tentang penampakan perempuan berambut panjang, suara tangisan di tengah
malam, hingga alat siaran yang menyala sendiri tanpa listrik, sudah menjadi
rahasia umum di kalangan warga dan karyawan lama.
Bahkan sebelum Teh Riri resmi bekerja, reputasi keangkeran studio itu sudah
lebih dulu menyambutnya. Para penyiar senior selalu mengingatkan bahwa siaran
malam tidak boleh dilakukan sendirian. Bukan karena takut kesalahan teknis
semata, melainkan karena terlalu banyak kejadian di luar nalar yang pernah
dialami. Ada penyiar yang mendengar suara tertawa tepat di belakangnya saat
ruang siaran kosong. Ada pula operator yang melihat bayangan putih melintas di
balik kaca studio. Sosok yang paling sering disebut-sebut adalah Kuntilanak,
yang konon menampakkan diri di lorong belakang dekat sumur tua.
Meski demikian, Teh Riri menerima penugasan itu tanpa banyak ragu. Namanya
sudah dikenal luas di dunia penyiaran lokal setelah beberapa kali meraih
predikat penyiar terbaik. Lebih dari itu, ia memang memiliki kepekaan yang
tidak dimiliki orang kebanyakan. Sejak kecil, Teh Riri terbiasa merasakan
kehadiran makhluk tak kasat mata—merasakan hawa dingin tiba-tiba, mendengar
bisikan lirih, atau melihat bayangan yang tidak disadari orang lain. Kepekaan
itulah yang justru membuat pemilik radio tertarik merekrutnya. Dalam pandangan
sang pemilik, Teh Riri bukan hanya profesional, tetapi juga diyakini mampu
“beradaptasi” dengan lingkungan studio yang terkenal sulit itu.
Namun menerima pekerjaan tersebut berarti memulai hidup baru. Jadwal siaran
malam yang padat menuntut Teh Riri untuk tinggal dekat dengan studio. Ia sempat
berkeliling mencari kos-kosan di sekitar lokasi, tetapi hampir semuanya membuatnya
tidak nyaman. Lingkungan yang terlalu ramai, pedagang keliling yang
berlalu-lalang hingga larut malam, serta gang-gang sempit yang gelap membuat
perasaannya tidak tenang. Sebagai seseorang yang sensitif, ia merasakan energi
yang bercampur aduk di tempat-tempat itu—tidak semuanya buruk, tetapi cukup
mengganggu untuk dijadikan tempat beristirahat.
Akhirnya, dengan pertimbangan matang dan sedikit rasa terpaksa, Teh Riri memberanikan
diri mengajukan permohonan kepada pemilik radio untuk tinggal sementara di
dalam studio. Permintaan itu sempat membuat suasana canggung. Beberapa karyawan
menatapnya dengan ekspresi campur aduk antara kagum dan heran. Tidak banyak
orang yang berani tinggal di sana, apalagi sendirian. Namun setelah
mempertimbangkan alasan keamanan dan kenyamanan kerja, pemilik studio
menyetujui permohonan tersebut.
Teh Riri diizinkan menempati sebuah ruangan di bagian depan studio. Ruangan
itu awalnya adalah kantor besar yang jarang digunakan, dengan jendela lebar
menghadap jalan dan meja kayu tua yang masih menyisakan aroma debu. Pemilik
studio berjanji akan menyiapkan kamar di bagian belakang begitu memungkinkan.
Tata letak bangunan itu sendiri terasa ganjil. Ruang depan sangat luas dan
terbuka, seolah menyambut siapa saja yang masuk. Di bagian tengah terdapat
kantor manajer, sementara di sampingnya berdiri ruang mesin radio yang selalu
berdengung halus. Bagian belakang adalah area yang paling jarang
disentuh—terdapat kamar kecil, kamar mandi, dan sebuah sumur tua yang airnya
jarang digunakan.
Malam pertama Teh Riri tinggal di studio menjadi awal dari rangkaian
pengalaman yang tidak akan pernah ia lupakan. Seusai siaran, sekitar pukul
sebelas malam, suasana studio mulai sepi. Lampu-lampu sebagian dimatikan,
menyisakan cahaya temaram di lorong. Teh Riri berusaha tidur di atas kasur
lipat yang ia bawa, tetapi perasaannya tidak pernah benar-benar tenang. Hawa
dingin terasa menusuk meski pintu dan jendela tertutup rapat.
Sekitar tengah malam, ia mulai mendengar suara yang sangat jelas: suara
timba yang ditarik dari sumur. Bunyi “krek… krek…” tali yang bergesekan,
disusul percikan air yang jatuh kembali ke dasar sumur. Suara itu berulang,
teratur, seolah ada seseorang yang menimba air tanpa henti. Awalnya Teh Riri mencoba
berpikir logis. Mungkin ada karyawan lain yang belum pulang, atau mungkin ia
hanya kelelahan. Namun suara itu terus berlangsung selama berjam-jam, tanpa
jeda.
Sebagai orang yang peka, dadanya terasa sesak. Ada perasaan tidak nyaman
yang sulit dijelaskan, seperti ada sesuatu yang mengawasinya dari kejauhan.
Dengan keberanian yang dikumpulkan perlahan, Teh Riri akhirnya bangkit dan
melangkah ke arah belakang studio. Lorong itu gelap dan dingin, hanya diterangi
satu lampu kecil yang berkedip. Ketika ia sampai di dekat sumur, suara itu mendadak
berhenti.
Yang ia temukan hanyalah keheningan. Sumur itu kering. Kamar mandi kosong.
Tidak ada timba, tidak ada air, tidak ada siapa pun. Namun sisa hawa dingin dan
rasa diawasi masih melekat kuat. Saat itulah Teh Riri menyadari bahwa
keputusannya tinggal di studio bukan sekadar soal pekerjaan atau kenyamanan.
Ada sesuatu yang telah menyambutnya—sesuatu yang mungkin sudah lama menunggu
kehadirannya.
Dan malam itu hanyalah permulaan.
Penulis: Akang Marta
