Ads

Perjalanan Batin Sang Sunan: Pelajaran tentang Sejatining Agama dan Manunggaling Kawula Gusti

 

Perjalanan Batin Sang Sunan: Pelajaran tentang Sejatining Agama dan Manunggaling Kawula Gusti



Sosok kecil itu, Sang Hyang Isyarat, kini menoleh sedikit. Meskipun wajahnya tidak terlihat jelas dalam rembulan yang minim, Kalijaga merasakan tatapan yang penuh kasih dan kearifan. Gerakan menoleh itu sudah cukup untuk menggetarkan batin Kalijaga, menandakan bahwa sang guru spiritual telah benar-benar menerima dirinya sebagai murid.

"Engkau harus merubah caramu berdakwah, Kalijaga," suara itu bergetar dalam hatinya. "Bukan dengan mengubah syariat yang datang dari Rasulullah, tetapi dengan mengubah cara orang menerimanya. Ajarilah mereka bahwa Islam bukanlah baju baru, melainkan benang emas yang menyambungkan mereka pada sumber cahaya abadi yang telah mereka kenal sejak leluhur mereka bersemayam di sini."

Sosok itu kemudian mengajarkan konsep Sejatining Agama (Hakikat Agama) yang melampaui formalitas.

1. Tauhid Sejati ( Kawula Gusti):

"Jangan ajarkan bahwa Tuhan itu jauh di langit, terpisah dari mereka. Ajarkan bahwa Tuhan itu dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher mereka (Wana-fsinakum Afala Tubsiruun). Ajarilah mereka konsep Manunggaling Kawula Gusti—persatuan Hamba dan Tuan. Ini bukan berarti Hamba menjadi Tuan, tetapi kesadaran bahwa Hamba adalah manifestasi dari Cahaya Tuan di alam semesta. Kesatuan ini hanya dapat dicapai melalui penyucian hati, bukan penyucian air semata. Ketika hati sudah suci, semua gerak-gerik adalah ibadah."

2. Ibadah Sejati ( Laku Dadi Ibadah):

"Ibadah sejati bukan hanya yang dilakukan lima kali sehari. Ibadah sejati adalah Kesadaran Penuh dalam setiap detik kehidupan. Bekerja untuk keluarga, menanam padi, membantu sesama, bahkan diam merenung di tengah malam—semuanya harus menjadi Laku Dadi Ibadah (Tindakan yang Menjadi Ibadah). Ketika Syariat dihayati sampai ke tingkat Hakikat, maka Syariat akan menjadi Cinta, bukan hanya kewajiban yang ditakuti."

3. Wujud, Ilmu, Nur:

"Ajarkanlah mereka tentang Wujud (Eksistensi), Ilmu (Pengetahuan), dan Nur (Cahaya). Segala sesuatu adalah Wujud. Ilmu-mu adalah jalan untuk mengenal Wujud itu. Dan Nur adalah Cahaya Ilahi yang menyinari Wujud. Tugasmu, Kalijaga, adalah membawa mereka dari tingkat Syariat, yang hanya melihat wujud luar, menuju tingkat Ma'rifat, yang melihat Nur di dalam setiap Wujud."

Sosok itu kemudian memberi petunjuk kunci tentang bagaimana Sunan Kalijaga harus menyebarkan ajaran ini di Jawa.

4. Seni dan Budaya sebagai Jembatan:

"Gunakanlah wayang, gunakanlah gamelan, gunakanlah tembang (lagu). Ini adalah Wadah yang sudah dikenal oleh jiwa-jiwa di tanah ini. Jangan kau hancurkan wadah itu, tetapi gantilah Isi-nya. Ganti isi cerita Mahabharata dan Ramayana dengan kisah para nabi, kisah Sejatining Agama. Ketika mereka tertawa dan menangis menyaksikan wayangmu, pada saat itulah benih Ma'rifat akan masuk ke dalam hati mereka tanpa perlawanan. Biarkanlah Syariat menjadi Gerakan Tangan dan Hakikat menjadi Jantung dari setiap kesenianmu."

Inilah jawaban atas kegelisahan Sunan Kalijaga selama bertahun-tahun. Ia selama ini terlalu fokus pada apa yang harus dilakukan (Syariat) dan kurang fokus pada mengapa harus dilakukan (Hakikat dan Ma'rifat). Ia kini mengerti bahwa untuk mengislamkan Jawa, ia harus Jawa-kan Islam, menyatukan keagungan ajaran Ilahi dengan kearifan lokal yang telah berurat-berakar.

Kontributor: Akang Marta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel