Kunti Menjadi Rekan Siaran dan Pencarian Jati Diri
Kunti Menjadi Rekan Siaran dan Pencarian Jati Diri
Kisah
Nyata Sang Penyiar Radio
Penulis: Akang Marta
Setelah
peristiwa penukaran fasilitas dan konflik yang dipicu oleh iri hati manusia,
Teh Riri memilih untuk menarik diri dari urusan yang tidak perlu. Ia menyadari
bahwa meladeni kemarahan dan kedengkian hanya akan menguras tenaga batin. Dunia
manusia, dengan segala intrik dan kepalsuannya, justru terasa lebih melelahkan
dibandingkan dunia gaib yang selama ini ia hadapi. Maka, ia kembali menata
fokusnya pada satu hal yang paling ia pahami: pekerjaannya sebagai penyiar
radio.
Malam
berikutnya, seperti biasa, Teh Riri memasuki studio menjelang siaran malam.
Lampu indikator menyala, mixer audio siap, dan mikrofon berdiri tegak di
depannya. Suasana studio terasa sunyi, tetapi tidak menekan. Justru ada rasa
tenang yang aneh, seolah ia tidak lagi sendirian, namun juga tidak merasa
terancam.
Benar
saja. Dari sudut matanya, Teh Riri melihat sosok yang sudah sangat ia kenal.
Kuntilanak itu kembali datang.
Namun
kali ini berbeda.
Tidak ada
tangisan melengking. Tidak ada penampakan tiba-tiba di jendela atau di balik
pintu. Kuntilanak itu hanya duduk santai di kursi depan meja siaran, menghadap
ke arah Teh Dewi. Rambutnya tergerai, wajahnya pucat, tetapi ekspresinya tidak
lagi menyeramkan. Ia tampak seperti seseorang yang hanya ingin menemani.
Teh Riri menarik
napas panjang. Tidak ada rasa panik seperti dulu. Ia memilih bersikap biasa
saja, seolah kehadiran itu adalah bagian dari rutinitas malamnya.
Siaran
pun dimulai.
Seperti
biasa, Teh Riri menyapa pendengar dengan suara hangat dan ceria. Ia membaca
pesan, menerima telepon, dan bercanda ringan dengan penelepon setianya. Yang
membuatnya terkejut, Kuntilanak itu ikut tertawa. Tawanya pelan, namun jelas
terdengar di ruangan.
Setiap
kali Teh Riri tertawa, sosok itu ikut tertawa. Bahkan ketika ada penelepon yang
melontarkan guyonan receh, Kuntilanak itu tampak senang, bergoyang-goyang kecil
di kursinya, seolah ikut menikmati suasana siaran.
Masalahnya,
suara tawa itu terekam.
Seorang
penelepon mendadak terdiam di ujung sambungan. Dengan nada ragu, ia bertanya,
“Teh… tadi yang ketawa siapa ya? Kayaknya bukan suara teteh.”
Teh Riri tercekat
sesaat. Ia berusaha tenang, lalu menjawab dengan bercanda untuk mengalihkan
suasana. Namun setelah telepon itu ditutup, pesan-pesan masuk bertubi-tubi.
Beberapa pendengar mengaku mendengar suara aneh. Bahkan, tak lama kemudian,
beberapa penggemar pria Teh Riri datang ke studio, khawatir ia diganggu oleh
“penghuni lama” tempat itu.
Kuntilanak
itu hanya duduk santai di meja siaran, kakinya bergoyang, seolah menikmati
kehebohan yang tak seorang pun tahu penyebabnya.
Siaran
akhirnya selesai menjelang tengah malam. Para pendengar pulang, studio kembali
sepi. Namun sosok itu tidak pergi. Ia mengikuti Teh Riri ke luar ruang siaran,
berdiri di belakangnya, diam, seakan menunggu sesuatu.
Teh Riri berhenti
melangkah. Ia tahu, kehadiran ini bukan tanpa maksud.
Dengan
keberanian yang ia kumpulkan, Teh Riri berbalik dan berbicara serius. Ia
meminta Kuntilanak itu menjelaskan apa yang sebenarnya diinginkan. Ia juga
meminta satu hal: jika memang ingin berkomunikasi, lakukanlah dengan baik dan
jangan lagi mengganggu.
Kuntilanak
itu terdiam lama. Lalu, dengan suara lirih yang nyaris seperti bisikan angin,
ia menyebutkan namanya.
“Yusniah.”
Nama itu
terdengar sangat manusiawi. Tidak menyeramkan. Tidak asing.
Yusniah
lalu meminta Teh Riri untuk memejamkan mata. Meski ragu, Teh Riri menuruti. Ia
membaca doa singkat dalam hati, lalu menutup matanya.
Saat ia
membukanya kembali, pemandangan di depannya berubah total.
Kuntilanak
itu tidak lagi berdiri di sana.
Di
hadapannya kini berdiri seorang gadis muda yang sangat cantik. Ia mengenakan
seragam SMA khas tahun 90-an. Rambutnya panjang terurai rapi. Wajahnya lembut,
hidungnya mancung, dan matanya lentik. Namun ada satu hal yang membuat dada Teh
Riri sesak—perut gadis itu membesar. Ia sedang hamil tua.
Gadis itu
menatap Teh Riri dengan mata berkaca-kaca.
“Aku
Yusniah,” katanya pelan. “Aku dari Bandung.”
Dengan
suara bergetar, Yusniah mulai menceritakan kisah hidupnya. Setelah lulus SMA,
ia merantau ke kota itu untuk menemui kekasihnya—laki-laki yang telah
menghamilinya. Ia tidak berani pulang ke rumah karena takut dan malu. Ia
berharap pacarnya akan bertanggung jawab.
Namun
harapan itu berakhir tragis.
Alih-alih
bertanggung jawab, laki-laki itu membawanya ke sebuah rumah tua bekas Belanda,
yang saat itu sudah sepi dan tak terurus. Rumah itu kini telah berubah fungsi
menjadi lapangan futsal. Di tempat itulah, Yusniah meregang nyawa. Ia tidak
pernah kembali. Tidak pernah dimakamkan dengan layak. Arwahnya terjebak, penuh
kebingungan dan kesedihan.
Air mata
Yusniah jatuh tanpa suara. Teh Riri ikut menangis. Untuk pertama kalinya, ia
tidak melihat Kuntilanak sebagai sosok menakutkan, melainkan sebagai seorang
perempuan muda yang kehilangan masa depan, keadilan, dan jati dirinya.
Malam
itu, studio radio angker tidak lagi terasa menyeramkan. Ia berubah menjadi
ruang pengakuan, tempat sebuah arwah akhirnya bisa menceritakan kisahnya. Dan
bagi Teh Dewi, pertemuan itu menjadi awal dari pencarian jati diri—bukan hanya
bagi Yusniah, tetapi juga bagi dirinya sendiri, sebagai manusia yang belajar
memahami bahwa di balik setiap ketakutan, sering kali tersembunyi luka yang
belum pernah sembuh.

