Ads

Manusia Otentik dan Infinite Game: Seruan Cak Nun untuk Keutuhan Jiwa dan Kedamaian Sejati

 

Manusia Otentik dan Infinite Game: Seruan Cak Nun untuk Keutuhan Jiwa dan Kedamaian Sejati

 Intisari Pemikiran Cak Nun: Otentisitas dan Ranah Keabadian

 


Tulisan opini publik ini, yang diramu dari ceramah Cak Nun di Kenduri Cinta, menawarkan refleksi mendalam mengenai keutuhan diri, kesetiaan, dan manajemen eksistensi di tengah masyarakat yang majemuk. Inti dari pandangan ini adalah penolakan tegas terhadap segala bentuk kepura-puraan sosial-politik, penekanan kuat pada otentisitas, dan seruan fundamental untuk memprioritaskan "permainan abadi" (Infinite Game) dalam segala aspek kehidupan. Disampaikan dengan bahasa yang lugas dan diselingi perumpamaan sehari-hari, esai ini menyerukan sebuah revolusi dalam cara kita berinteraksi di tengah kemajemukan. Inti opini ini adalah penolakan terhadap kemunafikan yang dilakukan semata-mata demi dicap atau dianggap toleran. Sebaliknya, penulis menekankan otentisitas diri yang jujur dan apa adanya sebagai kunci fundamental menuju kedamaian sosial yang sejati dan berkelanjutan. Penulis mengajak kita semua untuk mempertanyakan kembali definisi toleransi yang selama ini dipraktikkan, yang sering kali hanya berbentuk asimilasi superfisial—yaitu peniruan bentuk luar—daripada penerimaan yang mendalam terhadap perbedaan esensial. Dengan mengutamakan keutuhan jiwa dan Infinite Game, individu dapat merdeka dari tuntutan sosial dan politik jangka pendek, sehingga kedamaian yang dicapai bersifat substansial.

Keotentikan, Kesetiaan, dan Kemesraan Ilahi

Penulis memulai dengan penghormatan kepada sahabat-sahabat lamanya (almarhum Pakde Zainuri dan Mas Uki) sebagai simbol kesetiaan yang luar biasa. Nilai kesetiaan ini, yang melampaui pertimbangan jangka pendek, terwujud dalam momen-momen sulit, di mana sahabat menjadi "juru selamat" di saat ia kehabisan uang untuk pulang. Kesetiaan otentik ini menjadi landasan moral untuk membahas manajemen hidup. Dalam konteks spiritual, konsep keotentikan diperluas melalui Kritik terhadap Formalitas Islam (vs. Kemanusiaan). Penulis menyindir pengalaman di Bogor di mana pertanyaan pertama adalah "Wis salat C?", yang mencerminkan ketidakpercayaan dan formalitas kaku, dibandingkan dengan sambutan di Surabaya yang lebih manusiawi: "Wis mangan cak? Iki ono pecel enak cak!" Pertanyaan tentang salat mencerminkan kurangnya kemesraan, sementara pertanyaan tentang makan adalah soal teknis hari yang manusiawi dan penuh kasih sayang. Konsep Kemesraan Melampaui Intelektual kemudian digarisbawahi, bahkan dalam hubungan dengan Tuhan. Mengutip hadis qudsi, "Wahai hambaku, aku lapar engkau tidak memberiku makan," penulis menegaskan bahwa ungkapan tersebut adalah bahasa estetika dan kemesraan, bukan rasional akademis. Kehilangan kemampuan berkomunikasi secara mesra inilah yang membuat masyarakat Indonesia mudah marah.

Otoritas Jati Diri dalam Berkomunikasi: Menolak Tokenism Komunikasi

Penulis secara eksplisit menolak praktik pengucapan salam seremonial yang tidak sesuai dengan keyakinan otentik seseorang, mencatat praktik pejabat yang mengucapkan "enam macam salam" hanya untuk tujuan politik. Praktik ini dicap sebagai kehilangan jati diri atau tokenism komunikasi yang mereduksi makna ketulusan. Pesan Utama penulis adalah: Jadilah Dirimu Masing-Masing. Jawablah sapaan sesuai dengan idium dan bahasa agamamu, misalnya "Shalom," atau sapaan otentik lainnya. Penulis menekankan bahwa maksud hakiki dari semua sapaan itu—yaitu mengajak berdamai, tidak saling menyakiti, dan tidak berbuat curang—adalah nilai universal. Jika maksudnya sudah sama, maka meniru bentuk luarannya adalah kepalsuan. Ketika seseorang otentik menyapa "Shalom" dan yang disapa otentik menjawab "Waalaikumsalam," pertukaran tersebut menegaskan kesetaraan dalam perbedaan yang tulus. Penulis mengkritik keras praktik pejabat yang merasa perlu mengucapkan semua salam, menyebutnya sebagai indikasi bahwa "manajemen sosialnya para binatang masih sedikit lebih maju dibanding manajemen manusia." Hal ini karena pejabat menganggap banyak salam adalah cara berdamai, padahal cara bebek berdamai adalah dengan menjadi bebek. Ini adalah kritik terhadap kerangka berpikir yang menyamakan akomodasi verbal dengan kedamaian substansial.

Manajemen Sosial yang Lebih Jujur dan Damai

Penulis berargumen bahwa kedamaian sejati tercipta bukan karena adanya keseragaman ucapan atau dress code, melainkan karena pemahaman dan penerimaan mendalam terhadap bahasa otentik masing-masing pihak. Konsep ini diperkuat oleh Definisi Damai Versi Bebek & Kambing: Saling Mengerti Maksud. Penulis menggunakan analogi kuat: "Bebek ngerti kalau kambing 'mbek-mek' berarti sama maksudnya dengan kalau dia 'wek-wek'." Analogi ini menyiratkan bahwa pemahaman antar-identitas—yaitu mengetahui bahwa semua sapaan dan ekspresi dari berbagai agama bertujuan sama (kedamaian)—jauh lebih penting dan dewasa daripada sekadar tuntutan akan keseragaman sapaan. Toleransi Sejati vs. Kepura-puraan didefinisikan secara fundamental: Toleransi sejati adalah menerima individu apa adanya, dengan semua idiom dan kekhasannya, bukan yang sudah "dimunafik-munafik pura-pura menirukan yang lain." Mengubah atau menekan diri agar diterima justru merupakan penghinaan terhadap keragaman itu sendiri dan menghancurkan otentisitas. Dengan menerima keotentikan, kerangka berpikir masyarakat beralih dari akomodasi verbal yang dangkal (peniruan) menjadi penerimaan substansial. Kedamaian yang dihasilkan adalah damai yang jujur dan berkelanjutan, karena ia didirikan di atas kejujuran jati diri setiap pihak.

Permainan Abadi (Infinite Game) dan Ranah Spiritual

Konsep Infinite Game ditekankan sebagai kunci fundamental dalam memprioritaskan eksistensi. Inti dari pemikiran ini adalah bahwa aspek kehidupan yang abadi harus selalu mengalahkan urusan yang bersifat sementara. Dalam ranah keluarga, hal ini terbukti ketika cinta pada pasangan di usia senja, saat semua daya tarik fisik telah hilang, adalah bukti bahwa keabadian relasi mengalahkan urusan jangka pendek. Penulis mengklasifikasikan dimensi kehidupan: Jangka Pendek (Finite Game) mencakup pertengkaran kecil, kecantikan fisik, status jomblo, atau pemilu yang berbatas waktu lima tahunan. Ini semua adalah permainan yang memiliki awal dan akhir yang jelas. Sebaliknya, Inti Kehidupan (Infinite Game) mencakup hal-hal yang tidak memiliki rencana untuk diakhiri: keabadian rumah tangga, perjuangan membangun negara dalam jangka waktu ratusan tahun, dan yang paling utama, perjuangan nilai-nilai spiritual dan keutuhan jiwa. Kehidupan spiritual dan perjuangan moral adalah Infinite Game karena ia adalah proses yang berkelanjutan dan tanpa garis finis. Memprioritaskan Infinite Game berarti melepaskan ketergantungan pada tolok ukur Finite Game (seperti kemenangan politik atau kecantikan fisik yang fana). Ketika seseorang berorientasi pada nilai-nilai abadi, setiap Finite Game (seperti pertengkaran) hanya menjadi bagian kecil dari perjuangan besar yang tidak pernah selesai, dan harus selalu tunduk pada tujuan keabadian.

Perumpamaan Ketuhanan: Allah yang Maha Pemalu (Al-Hayiyu)

Penulis menghadirkan perumpamaan teologis yang menyentuh, menggambarkan Allah SWT sebagai Al-Hayiyu (Yang Maha Pemalu). Perumpamaan ini berfungsi untuk menunjukkan bahwa Cinta, Rahmat, dan Anugerah Ilahi secara substansial melebihi catatan amal formal atau kelayakan manusia yang terbatas. Allah digambarkan merasa malu jika Ia tidak mengabulkan doa hamba-Nya yang telah berjuang dan menunjukkan kesetiaan, meskipun malaikat memberi laporan negatif mengenai kekurangan atau kekhilafan hamba tersebut. Logika ini menembus pandangan formalistik yang sering hanya berfokus pada hukum Finite Game (catatan dosa dan pahala). Dengan memperkenalkan Al-Hayiyu, penulis menegaskan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan adalah Infinite Game, yang didasarkan pada kasih sayang dan kemesraan yang abadi. Konsep ini menjadi kritik halus terhadap spiritualitas yang kering dan legalistik. Rasa malu Tuhan yang diyakini melampaui formalitas syariat menuntut respons dari manusia berupa rasa maklum dan malu yang setara. Jika Tuhan yang Maha Besar saja memiliki rasa malu sebagai basis rahmat, maka manusia seharusnya tidak kehilangan rasa malu dan maklum—baik kepada Tuhan maupun sesama—sebagai fondasi moral sebelum membahas manajemen kehidupan. Pemahaman akan Al-Hayiyu mendorong spiritualitas yang otentik, di mana perjuangan hati lebih dihargai daripada sekadar kelengkapan ritual formal.

Kekhawatiran Penulis: Salah Sangka dan Mitologi Publik

Kekhawatiran terbesar penulis adalah adanya Salah Sangka dan pembentukan Mitologi Publik di kalangan audiens, terutama jemaah Maiyah. Penulis cemas bahwa jemaah: 1) Menyangka penulis mengerti hal-hal yang sebenarnya ia tidak mengerti; 2) Mengkhayalkan penulis memiliki sesuatu yang sebenarnya ia tidak miliki; dan 3) Berprasangka penulis mampu melakukan yang sebenarnya ia tidak mampu lakukan. Kekhawatiran ini berakar pada tingginya animo yang menunjukkan adanya muatan mitologi dan khayal-khayal yang berlebihan. Tingginya antusiasme jemaah—seperti meminta ditiup, meminta ludah, atau meminta kepala dipukul—mengindikasikan bahaya Overestimation. Penulis menceritakan contoh lucu orang Madura yang langsung menempel sambil berbisik, "Barang bukti, Cak!" Permintaan yang lugas ini, meskipun jenaka, tetap menunjukkan kebutuhan akan bukti fisik atau otoritas magis, bukan otoritas intelektual murni. Menghadapi fenomena ini, penulis memohon jemaah untuk menjaga Permintaan Objektivitas kepadanya. Ia menekankan perlunya jemaah tetap memandangnya secara objektif sebagai manusia biasa, agar semua pihak terhindar dari kesalahan-kesalahan prinsipil. Membebaskan diri dari mitologi publik adalah prasyarat bagi kedua belah pihak untuk mencapai otentisitas dan merdeka, sehingga diskusi dan perjuangan dapat difokuskan pada nilai-nilai abadi, bukan pada figur personal yang fana.

Definisi Sejati Ulama: Ekspertasi yang Melampaui Fakultas

Kekhawatiran penulis tentang salah sangka terhadap dirinya mengantarkannya pada kritik terhadap definisi ulama modern yang dangkal. Penulis membedakan ulama dari Fuqaha, yang hanya mengerti hukum Islam dan berfokus pada fatwa halal/haram—urusan Finite Game yang jelas dan terbatas. Sebaliknya, makna kata Ulama (dari alima ya'lamu ilman) berarti orang yang mengerti, tetapi tidak ada penjelasan eksplisit mengenai objek pengetahuannya. Ulama sejati adalah Warasatul Anbiya (pewaris Nabi), yang harus dimengerti melalui Ekspertasi Rasulullah SAW. Penulis bertanya: Apa ekspertasi Nabi? Nabi tidak bisa dikotakkan hanya sebagai negarawan, politisi, atau jenderal semata, karena ia adalah penghulu para ulama. Jawaban yang paling mendekati, menurut penulis, adalah kemanusiaan. Rasulullah adalah sosok yang paling mengerti tentang manusia: hati, kecenderungan, dan kebutuhannya (jangka pendek dan panjang). Buktinya, Rasulullah berpesan agar salat tidak terlalu panjang karena khawatir makmumnya ada yang tua atau memiliki kebutuhan mendesak. Ekspertasi sejati ulama, oleh karena itu, melampaui fakultas atau hukum formal, berpusat pada pemahaman utuh mengenai kemanusiaan dalam bingkai Infinite Game perjuangan nilai-nilai abadi.

Keutuhan dan Kebahagiaan Maiyah

Komunitas Maiyah dipandang sebagai antitesis fundamental dari manajemen sprint dan manusia sepertiga (yang hanya unggul di intelektual, spiritual, atau teknologis saja). Jika sarjana modern adalah lulusan fakultas yang terkotak-kotak (tidak utuh), maka Maiyah digambarkan sebagai Universitas sejati. Maiyah adalah tempat yang mengutamakan keutuhan dan harmoni keseimbangan jiwa, sehingga melahirkan "sarjana universitas." Ciri khas utama orang Maiyah adalah Bahagia (bukan sekadar gembira yang temporal). Kebahagiaan ini merupakan hasil dari jiwa yang sehat, seimbang, dan utuh. Keutuhan ini mencakup keseimbangan mental, intelektual, hati, dan perasaan. Kondisi jiwa yang seimbang dan utuh ini menciptakan sebuah ruang tertutup yang membuat seseorang tidak memiliki ruang sedikit pun untuk berbuat buruk. Ketika jiwa mencapai keutuhan, secara otomatis ia berfungsi sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi. Sebagai Kesimpulan Akhir, kebenaran jati diri sebagai kedamaian muncul dari pemahaman bahwa segala pertarungan pendek (finite game), seperti politik 5 tahunan atau urusan fuqaha yang legalistik, harus selalu diletakkan dalam kerangka perjuangan panjang (infinite game). Penulis berjuang agar ia dan audiensnya sama-sama otentik dan merdeka dari prasangka, dengan fokus utama pada pembangunan manusia yang utuh sebagai modal untuk hidup yang abadi.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel