Tragedi Baridin dan Ratminah: Cinta, Kasta, dan Mantra Jaran Goyang
Di pesisir utara Jawa, khususnya di wilayah Cirebon dan Brebes, terdapat sebuah legenda yang begitu melegenda hingga diabadikan dalam seni pertunjukan Tarling. Kisah itu adalah tentang Baridin dan Ratminah, sebuah cerita tragis yang menggambarkan betapa sakitnya hati ketika cinta tulus dibalas dengan hinaan, dan bagaimana dendam mengubah rasa cinta menjadi malapetaka.
Kisah ini sering dikaitkan dengan pepatah populer: "Cinta ditolak, dukun bertindak", namun di baliknya tersimpan kritik sosial yang tajam mengenai kesenjangan kelas.
Awal Mula: Si Miskin dan Si Kaya
Cerita bermula dari sosok Baridin, seorang pemuda desa yang sangat miskin. Ia digambarkan sebagai pria yang tidak tampan, hidup serba kekurangan, namun memiliki hati yang tulus dan pekerja keras. Baridin tinggal bersama ibunya yang bernama Mbok Wangsih.
Di sisi lain, hiduplah seorang gadis bernama Ratminah (dalam beberapa versi disebut Suratminah). Ia adalah putri dari seorang juragan kaya raya. Ratminah memiliki paras yang sangat cantik jelita, namun kecantikannya tertutup oleh sifatnya yang angkuh, sombong, dan sangat memandang rendah orang miskin.
Takdir mempertemukan mereka ketika Baridin jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Ratminah. Meski sadar diri akan keadaannya, perasaan cinta Baridin begitu kuat hingga ia memberanikan diri untuk melamar sang primadona desa.
Lamaran yang Membawa Petaka
Dengan penuh harap, Baridin meminta ibunya, Mbok Wangsih, untuk datang ke rumah orang tua Ratminah guna menyampaikan niat sucinya meminang gadis tersebut.
Namun, kedatangan Mbok Wangsih disambut dengan sangat buruk. Ratminah dan orang tuanya tidak hanya menolak lamaran tersebut, tetapi juga menghina kehormatan keluarga Baridin. Ratminah melontarkan kata-kata pedas yang menyayat hati, mencaci kemiskinan Baridin, bahkan ada versi cerita yang menyebutkan Ratminah meludah sebagai tanda jijik.
"Jangankan menjadi istri, melihat wajahmu saja aku sudah mau muntah!" kira-kira begitulah penolakan kasar yang diterima.
Mbok Wangsih pulang dengan air mata bercucuran. Ia menceritakan penghinaan tersebut kepada anaknya. Mendengar ibunya dihina dan cintanya diinjak-injak, rasa cinta Baridin berubah menjadi sakit hati yang mendalam dan dendam kesumat.
Puasa 40 Hari dan Ajian Jaran Goyang
Baridin yang sakit hati tidak tinggal diam. Ia tidak memilih jalan kekerasan fisik, melainkan jalan mistis untuk membalas dendam. Ia bertekad untuk membuat Ratminah bertekuk lutut di hadapannya, bukan untuk dinikahi, melainkan untuk disiksa batinnya.
Baridin kemudian berguru untuk mendapatkan ilmu pelet (pengasihan) tingkat tinggi yang dikenal sebagai Ajian Jaran Goyang.
Untuk menguasai ilmu ini, Baridin harus menjalani laku tirakat yang berat, yaitu puasa selama 40 hari 40 malam. Setiap tengah malam, ia merapalkan mantra keramat yang ditujukan khusus untuk sukma Ratminah. Mantra yang sangat terkenal dalam legenda ini berbunyi:
"Niat ingsun matek ajiku, si Jaran Goyang... Tak goyang ing tengah latar, cemetiku sodo lanang... Upet-upetku lawe wenang... Tak sabetake gunung jugrug, tak sabetake segoro asat... Tak sabetake atine si Ratminah..."
Pembalasan Dendam: Ratminah yang Tergila-gila
Setelah tirakat Baridin selesai, efek mantra itu langsung bekerja. Ratminah yang tadinya sombong dan benci, tiba-tiba berubah drastis. Ia menjadi gelisah, tidak bisa tidur, dan bayangan wajah Baridin terus menghantui pikirannya.
Rasa benci itu berubah menjadi obsesi gila. Ratminah mulai mencari-cari Baridin. Ia yang tadinya jijik, kini rela berlari-lari keluar rumah dengan rambut acak-acakan, memanggil-manggil nama Baridin di sepanjang jalan desa. Ia telah terkena "gendam asmara".
Ratminah akhirnya sampai di gubuk reot Baridin. Ia memohon, menangis, dan meminta cinta Baridin. Namun, Baridin yang hatinya sudah tertutup oleh dendam, menolaknya mentah-mentah. Ia membiarkan Ratminah menderita dalam kegilaan cintanya, sama seperti saat Ratminah membiarkan Baridin menderita karena hinaan.
Akhir yang Tragis
Akhir cerita ini memiliki beberapa versi, namun semuanya bermuara pada tragedi.
Versi Kematian Bersama: Ratminah yang kelelahan dan gila akhirnya meninggal di hadapan Baridin. Melihat wanita yang dicintainya (sekaligus dibencinya) mati, Baridin pun menyusul mati karena kelelahan batin dan fisik akibat tirakatnya.
Versi Penolakan Abadi: Baridin terus menolak Ratminah hingga gadis itu menjadi gila seumur hidup dan menggelandang di jalanan, menjadi peringatan bagi warga desa.
Pesan Moral dan Warisan Budaya
Legenda Baridin dan Ratminah bukan sekadar cerita horor atau mistis. Cerita ini mengandung pesan moral yang kuat bagi masyarakat Jawa, khususnya Cirebon:
Jangan memandang rendah orang lain: Kasta dan harta tidak menjamin kemuliaan seseorang. Hinaan Ratminah menjadi pemicu kehancurannya sendiri.
Bahaya dendam: Meskipun Baridin tersakiti, jalan dendam yang diambilnya juga tidak membawanya pada kebahagiaan, melainkan kehancuran bersama.
Kisah ini dipopulerkan secara luas oleh seniman besar Tarling, H. Abdul Adjib, pada era 1970-an lewat drama tarlingnya. Hingga kini, lakon "Baridin dan Ratminah" tetap menjadi salah satu lakon paling legendaris dalam sejarah kesenian Cirebon, mengingatkan kita bahwa cinta dan kesombongan adalah dua hal yang tidak boleh dipermainkan.
Penulis : Kang Yana Cikedung, dari berbagai sumber.
