Seruan Otoritas Jati Diri dan Kesetaraan dalam Keberagaman: Kelonggaran Ilahi dan Krisis Ekspertasi Modern
Seruan Otoritas
Jati Diri dan Kesetaraan dalam Keberagaman: Kelonggaran Ilahi dan Krisis
Ekspertasi Modern
Ditulis ulang berdasarkan ceramah Cak Nun di Kenduri Cinta oleh:
Akang Marta
Tulisan opini publik ini, yang diramu dari ceramah Cak
Nun di Kenduri Cinta, menawarkan refleksi mendalam mengenai kelonggaran (tawakkul) dalam beragama, krisis
definisi ulama, dan urgensi manajemen eksistensi di tengah masyarakat
yang majemuk. Inti dari pandangan ini adalah penolakan terhadap kepura-puraan,
penekanan pada otentisitas, dan seruan untuk hidup dalam ranah keabadian (Infinite Game) dengan hati yang
tenang (nafsul mutmainah). Penulis
menantang dikotomi modern antara yang sakral dan yang profan, antara yang
spiritual dan yang teknis.
Toleransi Spiritual: Menggenggam Kelonggaran dan Menolak Menghakimi
Opini ini menekankan prinsip kelonggaran (tawakkul)
dalam beribadah yang diajarkan Rasulullah SAW, yang secara fundamental menolak
kesulitan. Rasulullah memerintahkan, “(Salatlah sebagaimana yang kalian lihat aku salat), bukan "Salatlah
seperti salatku." Frasa ka-mā ra'aitumūnī menjadikan ibadah mudah,
menyesuaikannya dengan kapasitas saksi dan menghargai sedikit perbedaan yang
semuanya sah.
Kelonggaran ini menuntun pada pemahaman bahwa yang
dinilai Allah bukanlah performa lahiriah atau jumlah salat, melainkan ketakwaan
.
Penulis mengutip, (Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa).
Kritik utama adalah pada monopoli penilaian. Takwa hanya
dinilai (di sisi Allah), bukan (di sisi manusia). Manusia
tidak memiliki alat apapun untuk mengukur takwa sesamanya, sehingga kita
dilarang "sok menilai-nilai orang." Ketika seseorang memberi
kelonggaran kepada orang lain (tidak mempersulit), berarti ia telah mengamalkan
anasir ulama sejati pada dirinya.
Ulama Sejati:
Pewaris Kemanusiaan, Bukan Sekadar Fuqaha
Penulis menyatakan kekhawatiran pribadinya terhadap overestimation publik; ia takut
dianggap sebagai ulama, yang ia anggap sebagai gelar yang sarat tanggung jawab
dan kelengkapan yang ia yakini belum miliki.
Untuk meluruskan, ia membedakan dua ranah:
1.
$\text{Faqīh / Fuqahā}$: Orang yang mengerti hukum Islam (tafakuh). Urusan ini
jelas, pendek, dan terbatas pada kategori halal, haram, dan makruh.
2.
$\text{‘Ulamā’}$: Orang yang mengerti secara menyeluruh. Objek yang dimengerti tidak terbatas.
Acuan tunggal bagi ulama adalah statusnya sebagai $\text{Warasatul Anbiyā'}$
(pewaris Nabi).
Maka, untuk mendefinisikan ulama, kita harus mencari ekspertasi Rasulullah SAW. Ekspertasi Nabi tidak bisa
dikotakkan dalam terminologi profesi modern (negarawan, jenderal). Yang paling
dimengerti oleh Rasulullah adalah Kemanusiaan secara menyeluruh—mulai
dari hati, kecenderungan, hingga kebutuhan jangka pendek dan panjang manusia.
Buktinya, Rasulullah meminta imam tidak memanjangkan salat demi
mempertimbangkan kondisi makmum.
Penulis menegaskan bahwa ia tidak memiliki kelengkapan
menyeluruh ini. Ia bahkan menolak mengimami salat jemaah publik karena
menganggap mengimami adalah urusan pendek, sementara salatnya adalah urusan
panjang (dā’im). Permintaan ini adalah
ajakan untuk menilai berdasarkan substansi kemanusiaan, bukan gelar formal.
Keutuhan
Personalitas: Hidup Maraton dan Kebijaksanaan Jalanan
Penulis menetapkan dikotomi fundamental antara perjuangan pendek (Finite Game) dan perjuangan abadi (Infinite Game) sebagai
landasan eksistensi. Ia menolak terperangkap dalam identitas buatan manusia
(seperti seniman, kiai, atau ustaz), dan sebaliknya memilih menarik diri ke
dalam ranah Personalitas—yaitu jati diri sebagai ciptaan Allah. Penulis
bahkan senang dengan julukan "Kiai Beling" karena "beling"
membatalkan kekiaiannya, membebaskannya dari formalitas gelar.
Menurutnya, ulama sejati adalah yang mengerti hidup
secara total dan inklusif. Ia adalah orang yang bisa merasakan nasib petani,
mengerti bau pasar dan selokan, dan tidak ragu untuk duduk santai (mendingkrang) di warung ketan.
Ulama harus melonggarkan orang dan menghapus jarak.
Penulis bahagia dengan keakraban tanpa batas dari
publik—mulai dari kuli hingga orang dengan masalah berat—yang mencegatnya untuk
konsultasi di tempat-tempat tak terduga, bahkan di perempatan jalan. Momen ini
membuktikan bahwa kebijaksanaan sejati harus mudah diakses dan instan,
tidak terbelenggu oleh birokrasi profesional (seperti sesi psikolog
berjam-jam). Pengalaman ini mengukuhkan bahwa hidup harus dijalani sebagai maraton keutuhan, di mana kelengkapan jiwa dan
kebijaksanaan hadir di setiap ruang publik.
Strategi Maraton
Eksistensi: Memilih Hati yang Tenang
Penulis menggunakan analogi lari untuk membedakan
manajemen hidup: Sprint (Finite Game) yang fokus
pada kecepatan tanpa perencanaan nafas, menghasilkan kekurangan (cacat kelengkapan); dan Maraton (Infinite Game) yang
menuntut manajemen jangka panjang dan pengaturan nafas yang stabil, memastikan
jantung tidak menjadi korban.
Penulis berspekulasi, didukung nasihat medis, bahwa usia
mungkin ditentukan oleh jumlah detak jantung. Dengan demikian,
kunci umur panjang bukanlah waktu, melainkan ketenangan hati. Jantung
yang tenang (dek dek dek)
menjamin keabadian. Konsep ini selaras dengan ajaran spiritual, di mana hanya
jiwa yang tenang Yā ayyatuhan-nafsul-muṭmainnah yang
dipanggil Allah untuk memasuki surga.
Menghadapi hiruk pikuk politik, pesannya adalah tenang saja. Kekacauan politik hanyalah finite game dan tidak memengaruhi
kebahagiaan sejati. Rumus hidup abadi ditekankan: fa idzā faraghta fanṣab wa ilā rabbika farghab.
Kita boleh berpartisipasi (misalnya nyoblos), tetapi harus selalu wa ilā rabbika farghab hanya
berharap dan mengabdi kepada Allah. Inilah strategi Maraton Eksistensi
yang menjaga stabilitas batin di tengah segala kegaduhan.
Indahnya
Keutuhan: Melampaui Identitas dan Finite Game
Penulis menemukan keindahan dalam kelucuan
sosial Indonesia, seperti panitia yang tidak mengenali Gus Dur sebagai KH
Abdurrahman Wahid, atau polisi yang mengejar hanya untuk salaman. Hal-hal
pendek yang lucu ini, jika dilihat dari perspektif jangka panjang, membuat
hidup berbinar, membuktikan bahwa eksistensi tak hanya berisi keseriusan.
Pentingnya melampaui identitas
ditekankan melalui kisah seorang teman Katolik yang hafal dan melantunkan Shalātullāh Salāmullāh, serta umat
Katolik yang meminta di-Fatihah-i. Pengalaman ini menegaskan bahwa Allah tidak
melihat identitas formal, KTP, atau performa material, melainkan hati dan perilaku—khususnya kelembutan kepada sesama
manusia.
Kesimpulan Akhir opini ini
adalah seruan tegas untuk Keutuhan Jati Diri yang otentik dan
adopsi Manajemen Hidup Maraton. Ulama sejati adalah cerminan
kemanusiaan yang memberi kelonggaran. Kedamaian dan kebahagiaan abadi hanya
dapat dicapai dengan hati yang tenang (nafsul muṭmainnah),
yang mampu melihat dan melampaui segala finite game
(pertarungan pendek) yang hiruk pikuk di dunia. Otentisitas dan kelembutan
adalah mata uang Ilahi yang sejati.
