Kematian Otonomi Daerah dan Inkonsistensi Kabinet Gemuk
Kematian Otonomi
Daerah dan Inkonsistensi Kabinet Gemuk
Penulis: Akang Marta
Opini
publik yang diangkat dari pandangan Profesor Ryaas Rasyid menyoroti dua isu
krusial: pengkhianatan terhadap spirit Reformasi melalui pencabutan otonomi
daerah dan inkonsistensi pemerintahan Prabowo-Gibran
dalam menerapkan efisiensi.
1. Kematian Otonomi Original: Pengkhianatan Reformasi
Opini publik menerima narasi bahwa spirit awal Reformasi
yang termaktub dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (Otda) telah dikubur hidup-hidup oleh pemerintah pusat pasca-tahun 2004.
·
Janji
Penuh Harapan: Konsep Otda yang orisinal
adalah menyerahkan sebagian besar kewenangan dan sumber daya ke daerah
(tambang, kehutanan, kelautan, investasi). Tujuannya mulia: jika daerah bangkit
dan maju, maka Indonesia maju serentak. Ini adalah kunci untuk menghidupkan kembali Republik pasca-Orde Baru yang
sentralistik dan lumpuh pada krisis 1998.
·
Marwah
Daerah Dicabut: Masyarakat melihat penarikan
kewenangan yang dilakukan secara bertahap sejak 2004 (diawali pada masa
Megawati, dilanjutkan SBY, hingga Jokowi) sebagai "pengkhianatan,"
"penyimpangan," atau "ingkar pada komitmen"
reformasi.
o Contoh Ekstrem: Penarikan kewenangan dari tambang besar hingga galian C (kerikil dan pasir) menunjukkan sentralisasi yang
ekstrem. Daerah kini kembali ke titik nol, hanya mengandalkan PBB dan Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB), yang membuat mereka "stres" dan frustrasi.
·
Pusat
yang Gagal: Kegagalan pusat untuk melakukan supervisi, pengawasan, dan pembinaan yang canggih selama
masa transisi (1999–2004) dijadikan alasan oleh pusat untuk mencabut
kewenangan. Opini publik mengkritik pusat: "Tidak fair" jika daerah dimaki-maki setelah
dibiarkan lepas kendali tanpa pengawasan yang memadai.
Kesimpulan: Otonomi yang
dinikmati daerah hanya berlangsung efektif selama 3 tahun (1999–2002),
sebelum secara bertahap ditarik kembali. Spirit Otda (dan Reformasi) yang
tersisa hanyalah pemilihan kepala daerah secara langsung—sebuah warisan yang
ironis karena kemanfaatannya bagi kemajuan daerah pun masih diperdebatkan.
2. Inkonsistensi: Kabinet Gemuk di Tengah Retorika
Efisiensi
Opini publik menyuarakan keresahan yang signifikan
terhadap inkonsistensi kebijakan pemerintahan baru dalam merespons
realitas ekonomi.
·
Tema
vs. Tindakan: Publik melihat adanya "pembengkakan" (kabinet gemuk) di saat tema yang
digaungkan adalah efisiensi. Inkonsistensi ini
menciptakan sinyal buruk dan merusak kredibilitas pemerintah baru.
·
Respon
yang Tidak Jelas: Opini publik menyimpulkan
bahwa pemerintahan Prabowo "tidak merespon secara
jelas dan komplit terhadap realitas". Realitas ekonomi menuntut
efisiensi organisasi (dicut), kinerja
dimaksimalkan, dan orang-orang yang dipilih harus fully capacity.
·
Kinerja
Menteri: Kinerja yang belum terlihat dari
sebagian besar menteri (kecuali Menteri Keuangan) memperkuat dugaan publik
bahwa pemilihan kabinet didasarkan pada pertimbangan politik, bukan kompetensi
maksimal. Menteri hanya sekadar bisa "beri hormat," tapi tidak mampu
mengatasi persoalan rumit.
·
Gebrakan
Retorika: Gebrakan yang terlihat hanya
terbatas pada retorika pidato Pak Prabowo. Publik menunggu "tindakan-tindakan" konkret, karena retorika
tanpa eksekusi tidak akan mengatasi beban utang, korupsi, dan krisis fiskal
yang diwariskan.
Masyarakat
melihat bahwa pemerintahan baru terperangkap dalam dua pusaran: warisan kegagalan fiskal Orde Lama (Jokowi) yang mematikan
Otda dan inkonsistensi politik Kabinet Gemuk. Harapan publik adalah
agar Prabowo melampaui retorika dan loyalitas pribadi untuk memilih orang-orang
berkapasitas tinggi demi mengoreksi kegagalan sentralisasi yang telah membuat
seluruh daerah di Indonesia "merana."
Disclaimer:
Tulisan ini merangkum klaim dan kritik Prof. Ryaas Rasyid dalam Podcast Madilog
Forum Keadilan mengenai dugaan campur tangan Jokowi terhadap Prabowo, termasuk
komitmen tertulis. Isi bersifat opinional, belum terverifikasi secara
independen. Pembaca disarankan merujuk sumber asli untuk konteks.https://youtu.be/58WDQbbPk5U?t=453
