Ads

Legenda Kisah Syekh Nurdjati: Simfoni Agung Karawang dan Cirebon

 

Simfoni Agung Karawang dan Cirebon



Kisah dakwah di tanah Pasundan bukanlah kisah tentang satu pahlawan tunggal. Ia adalah sebuah simfoni agung yang dimainkan oleh banyak jiwa suci, dan dua nada utamanya digemakan dari dua tempat berbeda: Karawang dan Cirebon. Dua pelita ini, meski menyala di tempat terpisah, berasal dari sumber api yang sama dan cahayanya saling menguatkan.

Sebelum Syekh Nurjati menjejakkan kaki di Giri Amparan Jati, Fajar pertama telah merekah di Karawang. Tokohnya adalah Syekh Quro, seorang ulama utusan dari Raja Campa. Takdir telah menulis bahwa ia dan Syekh Nurjati adalah saudara dalam garis keturunan, sama-sama cucu generasi keempat dari Amir Abdullah Khanuddin yang mulia. Mereka adalah dua anak panah yang dilepaskan dari busur yang sama, menuju sasaran dakwah yang sama.

Pada tahun 1416 Masehi, Syekh Quro tiba di Muara Jati, bukan dengan perahu sederhana, melainkan bersama armada angkatan laut raksasa dari Dinasti Ming yang dipimpin oleh Laksamana Chengho yang legendaris. Ketika armada besar itu singgah di Karawang, Syekh Quro merasakan panggilan hatinya. Di sanalah ladang dakwahnya. Ia pun turun dan memulai misinya, mendirikan pondok pesantren pertama yang menjadi mercuar ilmu di pesisir utara Jawa Barat.

Beberapa tahun kemudian, Syekh Nurjati tiba dan menyalakan pelitanya di Cirebon. Namun, kisah mereka bukanlah dua alur yang terpisah. Mereka adalah dua panglima di medan juang yang sama, saling bahu-membahu dalam sebuah harmoni dakwah yang menakjubkan.

Ikatan suci di antara mereka terukir abadi dalam beberapa bukti sejarah:

·         Sebagai tanda persahabatan dan dukungan, Syekh Quro mengutus orang kepercayaannya, Sang Penghulu Karawang, untuk membantu dakwah di Cirebon. Nisan makam sang penghulu kini bersemayam dengan tenang di Amparan Jati, menjadi segel abadi atas persaudaraan dua pusat dakwah ini.

·         Jalinan itu mengalir dalam darah. Cucu Syekh Quro, seorang pemuda alim bernama Musanuddin, kelak mengabdikan diri di Cirebon. Suaranya memimpin umat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada masa Sunan Gunung Jati, menyatukan warisan spiritual Karawang dan Cirebon di bawah satu kubah.

·         Seorang putri Karawang yang mulia hatinya tergerak untuk menyumbangkan hartanya demi membangun sebuah masjid permata di Gunung Sembung, Cirebon. Masjid Dog Jumeneng itu hingga kini masih berdiri kokoh, menjadi saksi bisu kemurahan hati dan eratnya hubungan dua negeri.

·         Bahkan setelah ratusan tahun, kehormatan itu tetap terjaga. Pengangkatan juru kunci di makam suci Syekh Quro di Karawang harus mendapat pengesahan dari Keraton Kanoman Cirebon, sebuah sumpah setia yang melintasi zaman.

Namun, puncak dari jalinan ini bukanlah sekadar kerja sama antar ulama. Puncaknya adalah sebuah kisah cinta yang mampu mengubah arah sejarah sebuah kerajaan besar.

Tersebutlah Raden Pamanah Rasa, seorang kesatria agung dari jantung kerajaan Pajajaran, putra mahkota yang kelak akan bergelar Prabu Siliwangi. Dalam sebuah pengembaraan, langkahnya membawanya ke Pesantren Quro di Karawang. Ia datang untuk melihat cahaya baru yang sedang bersinar di wilayah kekuasaannya. Namun, ia justru menemukan cahaya lain yang menyilaukan hatinya.

Di tengah keteduhan pesantren, matanya tertambat pada seorang gadis bernama Subang Larang. Ia bukan sekadar kembang pesantren. Ia adalah putri dari Ki Gedeng Tapa, penguasa pelabuhan Muara Jati yang pertama kali menyambut Syekh Nurjati. Darah bangsawan dan kesalehan Islam menyatu dalam dirinya.

Raden Pamanah Rasa, sang Pangeran Perkasa, jatuh cinta. Ia melamar Subang Larang. Namun, gadis itu, dengan keberanian iman yang luar biasa, mengajukan dua syarat yang menggetarkan:

1.      Ia bersedia menjadi permaisuri Pangeran Agung, asalkan Sang Pangeran bersedia memeluk Islam.

2.      Ia diizinkan untuk mendidik anak-anak mereka kelak dalam ajaran Islam.

Ini adalah sebuah pertaruhan besar, sebuah ikrar suci yang akan menjadi jembatan antara dua dunia: tradisi lama Pajajaran dan Fajar Baru Islam. Atas nama cinta, Raden Pamanah Rasa menyanggupi syarat itu.

Dari rahim Subang Larang lahirlah benih-benih sebuah era baru. Tiga anak yang namanya akan terukir dengan tinta emas dalam sejarah:

1.      Pangeran Walang Sungsang, sang putra sulung yang kelak akan menjadi pendiri Cirebon.

2.      Nyimas Ratu Rara Santang, sang putri yang akan menjadi ibunda dari Syarif Hidayatullah, atau yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

3.      Pangeran Raja Sengara, yang dikenal sebagai Kian Santang.

Anak-anak ini bukanlah sekadar buah cinta, melainkan takdir yang sedang bersemi. Dari sebuah pertemuan di pesantren Syekh Quro, dari jalinan suci antara Karawang dan Cirebon, dan dari keberanian seorang wanita salihah, lahirlah cikal bakal Kesultanan Cirebon, sebuah kerajaan Islam yang akan menerangi seluruh Tatar Pasundan.

Kontributor: Akang Marta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel