Krisis Etika Elite dan Pembodohan Pembangunan Sentralistik
Krisis Etika Elite dan Pembodohan Pembangunan Sentralistik
Penulis: Akang Marta
Opini publik yang disarikan dari pandangan Profesor Ryaas Rasyid menyoroti
dua isu fundamental: krisis etika di kalangan elite kekuasaan yang berulang,
dan kegagalan abadi dalam memahami prinsip pembangunan sejati melalui
desentralisasi.
1. Pelanggaran Etika dan
Kultus "Anak Raja"
Kritik tajam diarahkan pada pelanggaran etika yang
dilakukan oleh penguasa, terutama karena ketiadaan Undang-Undang Etika
Pemerintahan yang mengikat.
·
Presiden Bukan Raja: Etika
politik melarang presiden menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan anak,
karena "Presiden itu tidak punya anak, yang punya anak itu raja."
Tindakan menggunakan keuntungan dari jabatan untuk keluarga dianggap melanggar
etika serius, yang kini bisa terjadi karena tidak ada larangan tertulis yang
kuat.
·
Pelanggaran Etika Jokowi
(Ekstrem): Pelanggaran etika oleh mantan Presiden Jokowi dinilai luar biasa (luar
biasa), meliputi:
o Membohongi Rakyat: Termasuk berjanji untuk tidak menaikkan pajak
(seperti yang pernah membuat George Bush Senior kalah) namun kemudian
melakukannya.
o Kebijakan Mubazir: Keputusan yang memboroskan uang negara dan
menciptakan utang besar-besaran.
o Pengangkatan Non-Kompeten: Menunjuk orang-orang yang tidak
kompeten (termasuk komisaris dan menteri yang berakhir di penjara), menunjukkan
tanggung jawab kekuasaan tidak dihayati.
·
Urgensi UU Etika:
Masyarakat memerlukan basis etik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Penguasa
adalah pihak pertama yang membutuhkan undang-undang etika, karena mereka
memiliki potensi besar untuk melanggar. UU Etika adalah satu-satunya cara bagi
kekuasaan untuk membatasi dirinya sendiri secara sukarela.
2. Otonomi Daerah:
Jawaban Sejati yang Dikhianati
Opini publik menguatkan keyakinan bahwa otonomi daerah
yang orisinal adalah satu-satunya jawaban logis dan sejati untuk kemajuan
Indonesia, dan kegagalan saat ini adalah akibat "ego dan kebodohan"
pusat.
·
Visi Optimis (1999): Visi
Otda original (UU No. 22/1999) adalah menjadikan Indonesia maju serentak,
didorong oleh inisiatif daerah. Syaratnya jelas: kewenangan yang luas dan
sumber keuangan yang cukup. Hal ini bertujuan membangkitkan rasa percaya diri
daerah yang terampas selama Orde Baru (contoh: urusan kusen SD ditentukan
pusat).
·
Kesejatian Pembangunan:
Masyarakat diajak untuk menyadari bahwa "kesejatian pembangunan itu adalah
otonomi daerah." Jika Otda tidak ada, pembangunan yang terjadi saat ini "tidak
ada" atau tidak sejati, karena tidak membangkitkan jiwa masyarakat.
·
Sentralisasi adalah
Kebodohan: Opini publik menegaskan bahwa mustahil pemerintah pusat bisa
membangun seluruh Indonesia sekaligus secara sentral. Menggambarkan hal itu
sebagai "ego dan kebodohan" penguasa yang terperangkap dalam
psikologi penguasa yang "tidak mau berkurang kekuasaannya."
·
Konflik Filosofi: Penarikan
kembali kewenangan daerah adalah upaya mempertahankan filosofi lama (Filosofi
Jawa yang digambarkan oleh GS/Clipper G) bahwa "kekuasaan tidak bisa
dibagi," yang bertentangan dengan semangat desentralisasi dan Reformasi.
3. Dilema Prabowo:
Membatasi Diri
Opini publik mencermati apakah Presiden Prabowo memiliki
"kebesaran hati" untuk menginisiasi UU Etika, yang secara otomatis
akan membatasi kekuasaannya.
·
Pionir yang Langka: Upaya
membatasi diri sendiri adalah hal yang sangat sulit dan hanya dilakukan oleh
negarawan yang memiliki kesadaran tinggi, seperti yang pernah ditunjukkan oleh
Jawaharlal Nehru.
·
Tuntutan Publik: Publik
berharap Prabowo, yang pernah menyinggung etika politik, dapat menebusnya
dengan menjadi pionir yang meletakkan dasar etika pemerintahan yang kuat. Hal
ini akan menjadi bukti bahwa ia memilih kepentingan bangsa di atas ikatan dan
keuntungan kekuasaan sesaat.
Krisis etika dan matinya otonomi daerah menjadi dua beban utama bagi
Indonesia. Solusi terletak pada penguasa yang berani membatasi kekuasaannya
melalui etika (melawan dorongan pribadi) dan mengembalikan kekuasaan ke daerah
(melawan ego sentralistik), demi pembangunan yang sejati dan merata.
Disclaimer:
Tulisan ini merangkum klaim dan kritik Prof. Ryaas Rasyid dalam Podcast Madilog
Forum Keadilan mengenai dugaan campur tangan Jokowi terhadap Prabowo, termasuk
komitmen tertulis. Isi bersifat opinional, belum terverifikasi secara
independen. Pembaca disarankan merujuk sumber asli untuk konteks.https://youtu.be/58WDQbbPk5U?t=453
