Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Pesan Tanpa Kata: Konsep Kowiteka Marga Wizwayae
Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Pesan Tanpa Kata: Konsep Kowiteka Marga Wizwayae
Keheningan kembali merayap pelan setelah bayangan besar itu lenyap.
Sunan Kalijaga masih berdiri kaku, berusaha memproses kejadian barusan. Ia
memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, dan mencoba menenangkan pikiran
yang bergejolak. Ia tidak pernah menyaksikan kekuatan seperti itu seumur
hidupnya, bahkan dari guru-guru spiritualnya yang paling sakti.
Saat matanya kembali terbuka, Kalijaga memusatkan perhatian pada sosok
kecil yang penuh wibawa di hadapannya. Di antara cahaya lembut yang menyelimuti
tubuh sosok itu, ada ketenangan luar biasa yang seakan mengalir, menenteramkan
seluruh hutan. Sosok itu masih tidak bergerak, tetapi kehadirannya menguasai
ruang seperti alam baru saja mengakui keberadaannya sebagai penguasa wilayah
tersebut.
Kalijaga merasakan rasa hormat yang semakin kuat di dalam dadanya. Ia
melangkah setengah langkah ke depan, namun kembali berhenti karena tanah di
bawah kakinya bergetar pelan—peringatan lembut yang sama seperti sebelumnya. Ia
menunduk, memahami bahwa tidak semua tempat boleh ia injak tanpa izin. Ia
menata niatnya lagi, memastikan bahwa ia hadir bukan sebagai penantang, tetapi
sebagai seorang murid yang haus akan petunjuk.
Suaranya keluar perlahan, lebih tegas kali ini, tetapi tetap penuh
hormat. "Panjenengan? Siapakah gerangan? Apakah panjenengan makhluk
cahaya, penjaga hutan ini, atau sesuatu yang lebih luhur?"
Sosok itu tidak menjawab dengan gerakan kepala atau bibir. Namun,
sesuatu di sekitar mereka berubah. Angin yang sebelumnya diam kini bergerak
pelan. Daun-daun yang membeku seperti patung mulai berdesir. Desiran itu bukan
karena angin biasa, melainkan seperti mengalir mengikuti ritme napas sosok
kecil itu. Seolah seluruh hutan hidup kembali, mengikuti denyut cahaya yang
datang dari makhluk tersebut.
Lalu, tanpa peringatan, suara lirih terdengar. Bukan dari mulut sosok
itu, bukan pula dari arah tertentu. Suara itu seperti muncul dari ruang kosong
yang mengelilingi mereka, dari hati Kalijaga sendiri. Suaranya dalam, tua, dan
penuh wibawa, namun sangat pelan, hampir seperti gumaman alam semesta.
Kalijaga terpaku. Suara itu tidak menggunakan bahasa manusia yang ia
kenal, tetapi hatinya langsung memahami maksudnya, terjemahan batin terjadi
seketika.
"Kowiteka
Marga Wizwayae."
Sunan Kalijaga terkejut. Kalimat itu seperti berbicara langsung ke dalam
dadanya, menembus lapisan kesadaran. Ia menelan ludah, menyadari makna kalimat
yang sangat dalam itu: "Engkau datang karena Jalanmu telah
siap." Ini adalah sebuah penegasan bahwa kedatangannya ke Alas
Mentaok bukanlah sebuah kebetulan, melainkan takdir spiritual yang telah lama
dipersiapkan. Hatinya sudah siap untuk menerima sesuatu yang lebih besar dari
pemahaman sebelumnya, lebih tinggi dari sekadar syariat yang ia ajarkan.
Cahaya di sekitar sosok kecil itu mulai berputar perlahan, mempercepat
ritmenya. Sosok itu kemudian bergerak, sangat pelan. Ia tidak menoleh, tetapi
tangannya yang kecil terangkat. Telunjuknya menunjuk ke arah dada Kalijaga,
sebuah isyarat yang membawanya masuk ke tahap pembicaraan selanjutnya.
Sosok itu kembali berujar, kali ini lebih jelas, meski masih melalui
getaran batin. "Tujuanmu adalah kesatuan. Kau mencari Sang Jati Diri,
yang tersembunyi di balik lima lapisan. Yang kau ajarkan adalah kulitnya. Yang
kau cari adalah intinya."
Kalijaga tersentak. Lima lapisan. Ia
mengerti. Sosok ini sedang berbicara tentang lima dimensi eksistensi manusia:
1. Syariat (Hukum/Perilaku
Lahiriah)
2. Tarekat (Jalan/Metode
Spiritual)
3. Hakikat
(Kebenaran/Intisari)
4. Ma'rifat (Pengetahuan
Sejati/Gnosis)
5. Jati
Diri (Eksistensi Diri Sejati/Manusia Paripurna)
Selama ini, ia berkutat di dua lapisan pertama. Ia telah berhasil
menegakkan Syariat dan mengajarkan Tarekat, tetapi Ma'rifat dan Hakikat
seringkali terasa abstrak. Dan Jati Diri, intisari terdalam, adalah yang paling
sulit ia sentuh.
Sosok itu melanjutkan, suaranya terasa seperti gema dari masa lalu. "Jawa adalah tanah Laku. Agama harus melaku,
harus mengalir bersama air dan angin, seperti ajaranmu tentang Wali
Songo. Tetapi, Laku itu harus berfondasi pada Kesejatian.
Selama kau hanya melihat Tuhan di luar dirimu, selama kau hanya beribadah
karena takut dan harap, kau akan selalu merasa hampa. Karena Aku yang
kau cari ada di dalam Aku yang ini."
Kalijaga menunduk. Kalimat itu menampar kesombongan spiritualnya. Ia
telah beribadah dengan tekun, tetapi apakah ia beribadah karena cinta murni,
atau karena tuntutan formalitas?
Sosok itu seolah membaca pikirannya. "Syariat adalah perahu.
Tarekat adalah layar. Hakikat adalah ombak yang membawa perahu. Ma'rifat adalah
pelabuhan yang kau tuju. Tetapi Jati Diri adalah Nahkoda sejati yang
mengendalikan semuanya. Jika Nahkoda tak kau kenal, kau akan terombang-ambing
selamanya."
Inilah rahasia yang ia cari! Sebuah formula yang menyatukan Syariat
Islam dengan kosmologi spiritual Jawa yang dalam. Ia tiba-tiba mengerti mengapa
sosok ini berperut buncit. Perut buncit melambangkan lumbung, gudang
penyimpanan energi spiritual, kesabaran, dan kemampuan menampung seluruh
rahasia alam semesta tanpa tergesa-gesa—Narima ing Pandum,
menerima takdir, tetapi dengan kesadaran penuh. Sosok itu bukan sekadar penjaga
hutan, melainkan manifestasi dari Kesadaran Nusantara yang telah mencapai Ma'rifatullah.
Kalijaga akhirnya berbicara, suaranya dipenuhi rasa takzim. "Hamba
memohon petunjuk, Guru. Bagaimana hamba dapat mengenal Nahkoda itu? Bagaimana
hamba dapat menyatukan ajaran Hamba dengan inti Jati Diri ini?"
Sosok kecil itu perlahan mengangguk, sebuah gerakan yang terasa
menggerakkan seluruh semesta. Cahaya di sekitarnya memancar lebih kuat, siap
untuk mengungkap pelajaran besar terakhir.
Kontributor: Akang Marta
