Ads

Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Memasuki Ruang Batin: Agama Sebagai Rasa, Bukan Rupa

Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Memasuki Ruang Batin: Agama Sebagai Rasa, Bukan Rupa



Lingkaran cahaya besar yang mengelilingi Sunan Kalijaga dan sosok bercahaya itu tidak menyilaukan; justru sangat lembut, memberi rasa tenang yang belum pernah Kalijaga rasakan sebelumnya. Seolah alam sedang membuka ruang khusus bagi wejangan yang akan datang. Hutan, angin, dan tanah menyatu menjadi satu kesadaran yang ingin berbicara dengannya.

Suara gaib itu kembali terdengar, mengalun dari dalam hati Kalijaga:

"Agama iku ora mung kanggo diomongke, nanging kanggo dirasakake." (Agama itu tidak hanya untuk diucapkan, tetapi untuk dirasakan.)

Kalimat sederhana itu membuat dada Kalijaga bergetar. Ia menyadari bahwa selama ini ia masih sering memandang agama sebagai bentuk lahiriah—bacaan, aturan, gerakan, dan tata cara. Namun, suara itu kini mengajaknya menyelam lebih dalam ke wilayah yang tidak bisa dilihat mata, tetapi hanya bisa dirasakan oleh hati yang jernih.

Ketika suara itu mengalun, hutan kembali berubah. Udara menjadi hangat, sedangkan tanah berdenyut pelan seperti memiliki napas. Kalijaga merasakan seluruh tubuhnya dilingkupi getaran halus yang membawa ketenangan. Ia merasa seperti sedang berada di antara dua alam, di titik tipis di mana dunia manusia bersentuhan dengan dunia batin.

"Sing katon mung ngelingke. Nanging sing ora katon iku sing nyawiji karo Pangeran." (Yang terlihat hanya mengingatkan. Tetapi yang tidak terlihat itulah yang menyatu dengan Tuhan.)

Kalijaga teringat ibadah-ibadah yang ia lakukan selama ini. Terkadang ia fokus pada gerakan, terkadang pada bacaan, tetapi jarang sekali ia benar-benar merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap tarikan napas. Kata-kata itu seperti membuka ruang kosong di dalam dirinya yang selama ini ia abaikan. Perlahan ia mengangkat wajahnya dan berbisik lirih, "Ya Allah, bimbinglah hamba untuk memahami ini semua."

Sosok kecil bercahaya itu membuka mata. Cahaya di tubuhnya berdenyut seirama dengan getaran alam. Ia menatap Kalijaga dengan sorot mata yang penuh kasih. Lalu, suara itu, suara dari alam gaib yang tak berwujud, mengucapkan satu kalimat terakhir malam itu:

"Kowe kepareng krungu amarga atimu wis dak bukak." (Engkau diizinkan mendengar karena hatimu telah Kubuka.)

Kalijaga meneteskan air mata lagi, bukan karena sedih, tetapi karena merasakan kebenaran yang begitu lembut menyentuh jiwanya. Malam itu ia sadar bahwa perjalanan menuju agama sejati telah memasuki tahap paling penting: perjalanan untuk merasakan, bukan hanya memahami.

Setelah suara gaib itu mereda, keheningan kembali menyelimuti Alas Mentaok. Namun, keheningan itu bukan tanda berakhirnya wejangan, melainkan jeda yang memberi ruang bagi hati Kalijaga untuk menyerap apa yang telah ia dengar. Cahaya lembut yang menyelimuti sosok kecil itu tampak stabil kembali, menandakan bahwa pelajaran berikutnya siap dibukakan. Kalijaga menegakkan tubuhnya, siap menerima apapun yang akan diajarkan selanjutnya.

Kontributor: Akang Marta


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel