Ads

Perjalanan Batin Sang Sunan: Sunan Kalijaga Sang Wali Limo

 

Perjalanan Batin Sang Sunan: Sunan Kalijaga Sang Wali Limo  



Setelah menyampaikan semua ajarannya, Sang Hyang Isyarat perlahan mulai memudar. Cahaya di sekelilingnya meredup, dan siluet kecil berperut buncit itu seolah menyatu kembali dengan kabut dan keheningan Alas Mentaok. Sosok itu tidak mengucapkan salam perpisahan secara verbal, tetapi Kalijaga merasakan sebuah energi besar, sebuah restu spiritual, mengalir deras ke dalam dirinya.

Kalijaga membungkukkan badan hingga kepalanya menyentuh tanah, sebuah sujud yang penuh makna—bukan sujud kepada makhluk itu, tetapi sujud syukur kepada Tuhan yang telah menjawab doanya melalui Isyarat yang agung. Ketika ia mengangkat kepala, ia kembali sendirian. Area lapang itu kembali diselimuti keheningan yang biasa, hanya dinginnya embun malam yang terasa. Namun, Kalijaga yang berdiri di sana bukan lagi Kalijaga yang sama.

Kegelisahan spiritual yang selama ini menusuk hatinya telah lenyap, digantikan oleh sebuah kepastian yang tak tergoyahkan. Ruang hampa dalam dirinya telah terisi penuh. Ia kini telah memahami Lima Lapisan eksistensi: Syariat-Tarekat-Hakikat-Ma'rifat-Jati Diri. Pemahaman ini membuatnya naik ke tingkat spiritual yang baru.

Ia tidak lagi sekadar seorang Wali Songo (Wali Sembilan), tetapi ia telah menjadi Wali Limo—seorang Wali yang memahami kelima tingkatan spiritualitas, yang telah menyeberangi lautan Syariat dan berlabuh di pantai Ma'rifat.

Perjalanan malam itu di Alas Mentaok menjadi titik balik terbesar dalam sejarah dakwahnya. Ia kembali ke masyarakat dengan strategi yang sama sekali baru, strategi yang memadukan Syariat dengan kebudayaan lokal secara harmonis:

·         Ia menciptakan Wayang Kulit yang diselipkan ajaran Tauhid.

·         Ia menciptakan lagu-lagu Tembang seperti Lir-Ilir dan Gundul Pacul yang penuh simbolisme spiritual mendalam.

·         Ia menggunakan filosofi Matahari dan Bulan sebagai lambang Nur Muhammad dan Nur Ilahi.

Semua ini ia lakukan untuk mengenalkan Nahkoda Sejati (Jati Diri) kepada umat Jawa, mengajarkan mereka bahwa beragama adalah sebuah proses Manunggal, sebuah upaya menyatukan kesadaran Kawula (Hamba) dengan Gusti (Tuhan) melalui Laku (Tindakan) yang selaras dengan Syariat dan Hakikat.

Mulai malam itu, Sunan Kalijaga dikenal sebagai guru spiritual yang paling mendalam, yang mampu berbicara dengan bahasa rakyat jelata, namun membawa pesan dari tingkat keilahian tertinggi. Rahasia yang terungkap di Alas Mentaok telah mengubahnya menjadi legenda abadi, sang arsitek spiritual yang menanamkan Islam di tanah Jawa bukan dengan pedang, melainkan dengan Cinta, Seni, dan Kearifan. Malam itu, ia menemukan apa yang ia cari: Hakikat Kebenaran yang Berakar dari Kedalaman Hati, yang Tak Pernah Kontradiksi dengan Syariat, Melainkan Menyempurnakannya.

Kontributor: Akang Marta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel