Motivasi Personal dan Objektivitas Ilmiah dalam Isu Ijazah
Motivasi Personal dan Objektivitas Ilmiah dalam Isu
Ijazah
Penulis: Akang Marta
Opini
publik yang berkembang dari percakapan ini menyoroti hubungan kompleks antara motivasi
pribadi (kejengkelan) dan objektivitas ilmiah dalam mengusut kasus ijazah tokoh
publik. Hal ini memunculkan narasi bahwa pengejaran kebenaran akademik dapat
berawal dari emosi personal, asalkan prosesnya tetap berada dalam koridor
ilmiah yang ketat.
1. Dari Emosi Pribadi Menuju Field Research
Narasi
utama yang muncul adalah validitas untuk memulai investigasi ilmiah (seperti field
research) berdasarkan sentimen pribadi, seperti kekecewaan, kemarahan,
kejengkelan, atau academic curiosity.
- Pembenaran Motivasi: Opini
publik cenderung membenarkan bahwa motivasi awal penelitian tidak harus
murni netral. Jika seseorang "jengkel" dengan objek
penelitiannya (dalam hal ini, tokoh tertentu), hal itu adalah urusan
pribadi dan tidak masalah, asalkan:
- Hasil Ilmiah Dapat Dipertanggungjawabkan:
Prosesnya harus objektif, terukur, dan memenuhi kaidah ilmiah (hipotesis,
analisis, kesimpulan).
- Netralisasi Emosi: Meskipun
motivasinya personal, pelaksanaannya harus diobjektifikasi dan dinutralkan.
Emosi tidak boleh mencampuri pencarian the so-called the truth.
- Otoritas Personal: Pengakuan
bahwa seseorang adalah "orang yang berhak memiliki otoritas sangat
otoritatif" dalam bicara riset lapangan (field research) menegaskan
bahwa para peneliti merasa memiliki legitimasi untuk memilih objek
penelitian mereka, dan objek tersebut adalah pilihan pribadi yang tidak
perlu dipertanyakan oleh pihak lain (misalnya, mengapa tidak meneliti
SBY).
2. Memuliakan Bacaan: Kontras Ilmuwan dan Politisi
Pertukaran
buku antara Anda dan Kang Sobari menguatkan opini publik tentang kontras antara
kaum terpelajar (ilmuwan) dan kaum politisi/pemimpin yang diragukan.
|
Pihak
yang Disorot |
Simbol
dan Nilai yang Diusung |
Implikasi
Opini Publik |
|
Kang Sobari (dan Tritunggal) |
Buku dan Tulisan: Disertasi
(Perlawanan Petani Tembakau), Novel (The President), Esai Budaya. |
Simbol integritas intelektual.
Mereka adalah orang-orang yang "memuliakan bacaan" dan membuktikan
ijazah dengan karya. |
|
Isu Ijazah Tokoh |
Ijazah yang Diragukan: Simbol
formalitas pendidikan yang diduga tidak didukung oleh proses akademik. |
Opini publik menuntut bahwa
gelar akademik harus didukung oleh kiprah, penelitian, dan ketulusan. |
- Pujian untuk
"Tritunggal": Pengakuan atas pujian terhadap Dr. Tifa
("dalam satu milenium orang kayak Dr. Tifa belum tentu lahir
kembali") dan timnya (Roy Suryo, Rismon Sianipar) menegaskan bahwa
opini publik melihat mereka sebagai intelektual langka yang berani melawan
arus kekuasaan.
- Buku sebagai Bukti
Integritas: Pemberian buku Jokowi's White Paper yang merupakan
hasil kerja Tritunggal dan devoted academic support Anda, adalah manifestasi
dari perlawanan akademik. Ini mengirim pesan kepada publik bahwa
pengusutan ijazah bukan hanya didorong oleh gosip, tetapi oleh riset
mendalam dan didukung data.
3. Politik sebagai Lakon Alam Gaib
Kutipan
dari novel The President karya Kang Sobari merangkum pandangan pesimis
publik terhadap politik kontemporer:
Politik
Indonesia makin lama makin mirip lakon dari alam gaib yang dimainkan di dunia
nyata bohong fitnah iri dan dengki yang berasal dari kegelapan jiwa para tokoh
yang seraka dan ambisius menjadi warna politik sehari-hari yang bersifat
realis.
- Politik sebagai Lakon: Opini
ini menyiratkan bahwa politik telah kehilangan rasionalitasnya dan
didominasi oleh intrik tak berdasar.
- Isu Ijazah sebagai Bukti:
Kasus ijazah, dengan segala kejanggalan dan konflik pembelaan fanatiknya,
dianggap oleh sebagian publik sebagai bukti nyata dari "lakon dari
alam gaib" ini—di mana kebenaran objektif dipaksa tunduk pada
kepentingan politik yang serakah dan ambisius.
- Novel sebagai Realitas Baru:
Karya fiksi (novel) dijadikan alat untuk menampilkan kembali realitas
politik yang terlalu absurd untuk dipercaya, menciptakan logika baru yang
lebih masuk akal bagi publik.
Isu
ijazah tokoh publik telah bertransformasi menjadi sebuah pertempuran narasi
antara integritas akademik (diwakili oleh para ilmuwan/penulis) melawan integritas
politik yang meragukan (diwakili oleh objek penelitian). Publik kini menuntut
bukti konkret, bukan hanya klaim, untuk membedakan antara "pemimpin yang
membaca dan bersaing" dengan "lakon dari alam gaib."
