Ads

Peluh dan Sumpah di Kota Megapolitan

 

Peluh dan Sumpah di Kota Megapolitan

Melampaui Dualitas: Kisah Arya, Sang Pemberani dari Utara

Penulis: Akang Marta



Arya terlahir dan tumbuh besar di sebuah desa sederhana di kaki Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Ayahnya, seorang buruh pabrik yang berpenghasilan pas-pasan, bekerja keras tanpa lelah. Keterbatasan materi sering mencekik, namun ia dibesarkan dengan limpahan cinta tulus dan pengorbanan orang tuanya. Dengan segenap daya, dan bahkan berani menanggung utang, mereka mengirim Arya merantau dan kuliah di Jakarta. Itu adalah kebanggaan desa, namun juga utang budi dan ekspektasi yang harus ia pikul.

"Wah, Arya kuliah di Jakarta! Calon orang sukses!" seru para tetangga saat ia pergi.

Belum genap setahun di ibu kota, mimpi itu retak. Krisis ekonomi melanda, dan sang ayah di-PHK. Panggilan telepon dari kampung terasa menusuk jantung.

"Nak, Bapak sudah tak kuat. Pulang saja ke Jawa," lirih suara ayahnya, penuh kegagalan.

Arya merasa dunia gelap. Pulang berarti mengakui kekalahan. Ia teringat sumpah yang ia bisikkan pada dirinya sendiri sebelum berangkat. Dalam keputusasaan itu, ia menyampaikan dua syarat mutlak, yang ia jadikan satu-satunya pegangan:

"Saya akan pulang dengan dua syarat. Bawa gelar sarjana... atau... menjadi kaya raya."

Ia memutuskan untuk melawan. Jakarta, kota besar itu, bukan hanya tentang kekurangan uang; ia merasa terasing, seorang "anak daerah" di tengah hingar bingar metropolis. Keterasingan itu menempanya, memaksanya mengembangkan naluri survival.

Arya mulai berburu uang. Ia menjual pulsa elektrik di telepon umum, untungnya hanya seratus rupiah per transaksi. Ia menjadi calo barang elektronik, bermodal brosur dan janji. Suatu malam, di depan ATM Bank Mandiri, ia mencapai titik nadir. Ia antre berjam-jam hanya untuk menarik sisa saldo terakhir di rekeningnya: Rp10.000. Uang itu rencananya untuk makan lusa, namun rasa lapar dan lelah di hari itu membuatnya menghabiskannya untuk sebungkus nasi warteg lauk tempe.

Ia terbiasa puasa, bukan karena ibadah, tetapi karena dompetnya kosong. Pergaulannya meluas di kalangan tukang ojek dan pekerja kasar di pinggir jalanan, tempat ia menemukan ketangguhan sejati. Ia mengerti bahwa:

"Terlahir dalam kemiskinan bisa menjadi berkah, bisa menjadi bencana. Tergantung bagaimana kita melihatnya."

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel