Perjalanan Batin Sang Sunan: Sang Wali yang Melaku
Perjalanan Batin Sang Sunan: Sang Wali yang Melaku
Wejangan dari Sang Hyang Isyarat telah selesai. Lingkaran cahaya yang
mengelilingi sosok itu perlahan menyusut, kembali menjadi aura lembut yang
melingkari tubuh kecilnya. Makhluk itu, yang mewakili kearifan alam dan
spiritualitas kuna Nusantara, telah menunaikan tugasnya sebagai Guru Gaib. Ia
telah membuka pintu Hakikat dan Ma'rifat bagi Sunan Kalijaga.
Sosok itu kini berdiri, gerakannya anggun dan pelan. Ia tidak
mengucapkan kata perpisahan. Ia hanya menundukkan kepala sedikit ke arah
Kalijaga, sebuah isyarat hormat dari seorang guru kepada seorang murid yang
telah siap membawa beban ilmu besar. Kemudian, dalam keheningan yang total,
sosok kecil itu berbalik dan berjalan perlahan menuju kedalaman Alas Mentaok. Seiring
langkahnya, tubuhnya memudar, menyatu dengan bayangan pepohonan dan kabut pagi
yang mulai merayap. Dalam beberapa detik, ia lenyap sepenuhnya, meninggalkan
Kalijaga sendirian di tengah tanah lapang suci itu.
Sunan Kalijaga tetap duduk bersila, memejamkan mata. Ia tidak merasakan
duka atas kepergian Sang Guru Gaib, melainkan rasa syukur yang melimpah. Ia
kini membawa beban ilmu yang berat, sebuah amanah untuk menyatukan Syariat,
Tarekat, Hakikat, dan Ma'rifat ke dalam bingkai kebudayaan Jawa.
Ia tahu, perannya sebagai Wali Songo harus
berubah. Ia tidak bisa lagi hanya menjadi penyebar hukum. Ia harus menjadi Wali Limo, seorang guru yang mengajarkan Lima Lapisan kebenaran dengan kelembutan dan kebijaksanaan.
Laku
Baru Sang Sunan:
1. Syariat akan menjadi wadah
yang kokoh.
2. Tarekat akan menjadi
penyucian jiwa melalui laku dan tirakat.
3. Hakikat akan menjadi
kejujuran hati dan keikhlasan niat.
4. Ma'rifat akan menjadi
kesadaran akan keesaan Tuhan dalam segala manifestasi.
5. Jati
Diri akan menjadi tujuan akhir: penemuan Cahaya Ilahi di dalam diri sendiri.
Mulai saat itu, Sunan Kalijaga menjadi arsitek budaya yang jenius. Ia
menggunakan wayang kulit, gamelan, dan tembang (lagu) bukan sekadar sebagai
alat hiburan, melainkan sebagai media Tarekat dan Ma'rifat.
·
Wayang Kulit: Ia
mempersonifikasikan sifat-sifat manusia dan ajaran Islam melalui lakon-lakon
yang sudah dikenal masyarakat. Dewa Ruci menjadi
simbol pencarian Jati Diri.
·
Gamelan: Melodi yang lembut dan syahdu
menjadi iringan zikir batin.
·
Tembang Lir-Ilir: Lagu yang
sederhana ini adalah wejangan mendalam tentang membersihkan diri dan
mempersiapkan amal ibadah (pakaian takwa) sebelum ajal menjemput.
Ia belajar bahwa berdakwah di Jawa haruslah kawula (merakyat),
tidak boleh nggege mangsa (tergesa-gesa). Islam harus melaku, mengalir bersama budaya dan hati rakyat, tidak
melawan. Inilah inti dari pelajaran Alas Mentaok: bahwa agama sejati adalah Cinta yang Bersemayam di Hati yang Telah Bersih, yang
kemudian diwujudkan dalam Syariat yang santun dan Laku yang jujur.
Ketika matahari mulai memancarkan cahaya pertama di ufuk timur Alas
Mentaok, Sunan Kalijaga bangkit. Ia mengusap air mata terakhir di pipinya. Ia
berjalan keluar dari hutan, bukan lagi dengan kegelisahan, melainkan dengan
ketenangan seorang Nahkoda yang kini telah mengenal dirinya dan Tuhannya. Ia
membawa Cahaya Ma'rifat dari hutan sunyi, siap menerangi seluruh tanah Jawa
dengan ajaran tentang Jalan Sunyi menuju Kebenaran Sejati.
Perjalanan batinnya telah selesai, dan tugas besarnya yang sesungguhnya baru
saja dimulai.
Kontributor: Akang Marta
